Ads

Kamis, 15 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 66

“Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum disini. Mari, kita menyelinap dari belakang!”

Keduanya dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di belakang. Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empatpuluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi.

“Ikat mereka di bangku itu, Ciong-ko!” kata Cu Yin.

Permintaan ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu disebuah bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi diluar, hanya pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya.

“Sstt, paman! Kesinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?” teriak Cu Yin.

Pemilik kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah memanggilnya dan muncul dari dalam itu. Mendengar ada sesuatu yang terjadi dengan isteri dan anaknya, diapun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke dapur. Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu saja dia terkejut bukan main.

“Apa yang terjadi disini?”

Dia menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya.

“Turuti semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!” bentak Gin Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin.

“Kalau nanti ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan baik dan layani dengan ramah,” kata Cu Yin.

“Baik, nona…. Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami….”

“Lihat saja nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, anak dan isterimu akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak menaati kami, isteri dan anakmu akan kami bunuh!” kata Cu Yin.

“Sekarang keluarlah dan siap menerima dua orang tamu itu!”

Pemilik kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh dan pada saat itu Hui Lan dan Si Kong memasuki kedainya. Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah. Dan selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih dalam mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong.

Ketika Gin Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikitpun kepada pemuda dan gadis itu, ia tersenyum. Pada saat itu, pemilik kedai memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

“Mari kita tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Mari kita bayangi mereka!”

“Mau apa lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka. Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya.”

“Diamlah dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku melakukan semua ini!” Cu Yin menegur pemuda itu dan mereka membayangi Hui Lan dan Si Kong dari jarak jauh.

Si Kong dan Hui Lan melangkah seenaknya, mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan dusun itu, Hui Lan mengeluh, dan berkata,

“Aih, kepalaku pening dan dadaku rasanya tidak enak sekali!”

Ia lalu berhenti melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya. Ia bahkan terhuyung. Si Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tidak sampai roboh. Ia memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu.

“Engkau kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar.” Dia lalu menekan nadi pergelangan tangan gadis itu. “Ah, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba kau kerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu.”






Hui Lan menurut dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetappi akibatnya ia malah terpelanting dan terengah-engah.

“Aduh, aku terpukul tenaga sendiri, ah nyeri, Kong-ko….!”

Si Kong merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang dan dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang amat kuat. Diapun terpelanting dan terengah-engah.

“Kau kenapa, Kong-ko?” tanya Hui Lan khawatir dan ia sudah lupa akan keadaannya sendiri.

“Celaka, Lan-moi. Kita telah keracunan!”

“Keracunan? Di kedai tadi?”

“Tenanglah, Lan-moi, aku dapat mengobati kita…. ahh, diamlah, ada orang datang….!”

Yang muncul adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan saking herannya, dia berseru,

“Yin-moi…..! Engkau disini?”

“Kong-ko, engkau seorang manusia kejam, sekarang tahu rasa!” Gadis itu tersenyum manis dan berkata kepada Gin Ciong. “Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang rendah kepada puteri Lam Tok! Tidak percuma ayahku berjuluk Racun Selatan kalau racunku tidak ampuh! Lihat mereka berdua sudah tidak dapat berdaya.”

“Akan tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?”

“Nanti saja kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini. Si Kong yang gagah perkasa, yang berkepandaian tinggi kini menggeletak tak berdaya, tidak dapat menyelamatkan kawan perempuannya, juga tidak dapat menolong dirinya sendiri. Hi-hi-hik!”

“Yin-moi, jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?”

“Tutup mulutmu!” bentak Gin Ciong sambil mencabut pedangnya. “Yin-moi, dia berani membuka mulut besar kepadamu, baiknya kuhabisi saja dia!”

Dia mengelebatkan pedangnya, hatinya penuh cemburu mendengar betapa pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin.

“Jangan! Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali kalau dihutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari kita pergi, Ciong-ko.”

Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi unuk mengambil kuda mereka.

Ketika berlari itu, Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi. Dia menjadi makin benci kepada pemuda itu. Kalau saja berada di depannya sekarang, tentu sudah dibunuhnya.

Setelah mereka berdua menunggang kuda dengan perlahan, Gin Ciong bertanya.
“Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jerih kepada mereka sehingga engkau perlu menggunakan racun.”

Cu Yin menghela napas panjang.
“Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa.”

“Kenapa engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?”

“Karena aku mencintainya!”

Jawaban yang jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak dengan hati panas. Bagaimana tidak akan panas hatinya mendengar gadis yang dicintanya ternyata mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran.

“Kalau engkau mencintanya, kenapa engkau hendak membunuhnya?”

Cu Yin cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung.

“Kenapa engkau hendak membunuh orang yang kau cinta, Yin-moi?”

“Karena aku… aku membencinya!”

Hati Gin Ciong menjadi girang, akan tetapi juga heran.
“Engkau mencintanya akan tetapi juga membencinya?” tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik.

“Cerewet benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama. Tahu-tahu dia sekarang melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!”

Gin Ciong kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni berubah menjadi benci.

“Pemuda seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu! Dia kira dia yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi.”

Tiba-tib Cu Yin termenung. Ia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan dicabik-cabik tubuhnya. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai seorang pengemis muda. Betapa baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan. Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap amat baik kepadanya, tak terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas punggung kudanya.

Gin Ciong memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka diapun menutup mulut, khawatir kalau dia bicara, gadis itu akan marah kepadanya.

Cu Yin yang menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba mengangkat mukanya yang basah air mata.

“Tidak….! Dia tidak boleh mati! Kong-ko….. ah, Kong-ko……!”

Ia lalu mencambuk kudanya yang meloncat ke dapan lalu berlari cepat sekali kembali ke tempat dimana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan. Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin kembali menangis dan terisak-isak.

“Celaka…… Kong-ko….. telah diterkam harimau….” Ia menangis lagi.

“Tidak, Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada tanda darah disini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin mereka ada yang menolong.”

Cu Yin meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar saja. Ada bekas api unggun disitu dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi agak lega.

“Kita cari mereka disekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari kita cari, Yin-moi!”

Cu Yin hanya mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari disekitar tempat itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu pergi ke dusun yang ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi tidak seorangpun mengetahui dimana dua orang yang mereka cari.

“Sudahlah, Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki….”

Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangis, lalu mengangguk.

“Engkau benar, mereka tidak mati….”

“Nah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san.”

“Baik, Ciong-ko, mari kita pergi.” Keduanya lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar