Ads

Kamis, 15 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 68

“Tidak mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!” bantah Hui Lan.

“Nanti dulu, Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuannya karena orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya. Coba andaikata si anak tidak berbakti, tidak patuh, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya dan rasa sayangnyapun luntur.”

Hui Lan mengerutkan alisnya. Tidak bisa ia membayangkan ia membenci orang tuanya atau orang tuanya membencinya.

“Kalau begitu pendapatmu, maka di dunia ini tidak ada rasa cinta dalam hati manusia?”

“Mari kita selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya? Sebaliknya demikian pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya. Banyak sudah terjadi betapa cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu Yin.”

Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir dan membayangkan. Kalau ia bertemu dengan seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik kepadanya, rasanya memang tidak mungkin ia dapat mencinta seorang pria seperti itu!

“Kalau begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?”

“Nanti dulu, Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut pendapatku atau pendapatmu. Kita melihat tadi bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku mencinta dia karena cinta kepadaku. Atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia telah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku, selalu minta disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang, kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu menyenangkan, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh dan menyenangkan. Maka terjadilah: mencinta yang menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan.”

Hui Lan membelalakkan matanya.
“Wah, kalau begitu manusia ini semua mempunyai cinta palsu, dan tidak murni.”

“Kita melihat kenyataan begitu. Karena nafsunya, manusia tidak dapat menghilangkan pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya. Yang mendekati kemurnian hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seekor induk kepada anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar.”

“Hemm, jadi kalau begitu cinta kasih murni tidak mungkin ada di dunia ini, Kong-ko?” Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa.

Si Kong tersenyum.
“Sama sekali tidak begitu, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!”

“Apakah maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?”

“Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua mahluk menerimanya, tidak peduli mahluk atau orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya. Bunga mawar itu tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta maupun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan maupun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contohnya dan itulah Cinta Kasih yang murni, Lan-moi.”

“Ah, itu kan Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan!”

“Engkau benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu.”

“Bagaimana kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa.”

“Benarkah itu? Bagaimana kalau seorang sahabatmu yang paling baik pada suatu hari mengkhianatimu, membencimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?”

“Wah, wah, engkau menyudutkan aku sehingga aku tidak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?”

“Agaknya cinta kasih kita sudah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak ada sisanya lagi bagi orang lain.”






“Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?”

“Aku tidak tahu, Lan-moi. Selama kita tidak dapat menundukkan nafsu sendiri, tidak mungkin kita mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang dapat menyisihkan nafsu hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu.”

“Wah, wah! Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cinta kasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku ngeri membayangkannya!”

“Tidak perlu ngeri atau menyeasl, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah. Setidaknya kalau kita menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, akan memudahkan kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi.”

“Akan tetapi betapa sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita dapat mencegah atau menghalanginya?”

“Memang berat, Lan-moi, dan sukar sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan nafsu kita sendiri.”

Gadis itu memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran.
“Ah. Aku heran sekali, Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?”

Si Kong tersenyum dan menjawab.
“Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan? Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu. Akan tetapi mengerti itu saja, tidak akan membawa perubahan kepada kita. Pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perubahan.”

Hui Lan menggeleng kepalanya.
“Bicaramu mengingatkan aku akan ayahku. Ayah juga kalau bicara tentang kehidupan, demikian gamblang dan menelanjangi semua kenyataan hidup, betapapun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita melanjutkan perjalanan kita.”

“Nanti dulu, Lan-moi. Sekarang coba kau kerahkan sin-kangmu, apakah masih terasa sakit dalam dada dan perutmu?”

Hui Lan mengerahkan tenaga sinkangnya ke seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada yang terasa nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, ia lalu menggerakkan tubuh dan kaki tangannya untuk bersilat. Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapanbelas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari ayahnya.

Si Kong memandang kagum. Ilmu silat itu nampak aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Setelah memainkan delapan belas jurus itu, Hui Lan menghentikan gerakannya dan tersenyum girang memandang pemuda itu.

“Tidak ada yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko.”

“Bagus! Kalau begitu kita telah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga, hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang.”

Dua orang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kui-liong-san.

**** 68 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar