Ads

Kamis, 15 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 69

Kui-liong-san merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh nampak seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kui-liong-san (Gunung Naga Siluman). Tidak ada orang berani mendaki pegunungan itu karena Kui-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar penuh dengan binatang buas, harimau, ular besar dan sebagainya lagi.

Akan tetapi yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka. Gerombolan manusia yang ditakuti ini adalah perkumpulan Kui-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan). Kui-jiauw-pang mempunyai anggauta sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kui-jiauw-pang terkenal tangguh dan juga kejam. Sudah banyak orang yang memasuki daerah pegunungan itu dan tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak dapat keluar lagi karena mati terbunuh.

Bahkan ada beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, akan tetapi bukan saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan daerah pegunungan Kui-liong-san. Sejak saat itu, tidak ada lagi orang yang berani mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu.

Penduduk dusun-dusun yang berada disekitar kaki pegunungan Kui-liong-san bahkan beranggapan bahwa Kui-liong-san menjadi sarang setan dan iblis. Mereka yang tahyul ini merasa takut sekali memasuki hutan-hutan di pegunungan itu, bahkan untuk mencari kayu bakarpun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling bawah sekalipun.

Kui-jiauw-pang dipimpin oleh seorang tokoh kang-ouw terkenal. Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Dari sebutan ini saja tercerminkan ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa!

Ang I Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat dan menghilang untuk belasan tahun lamanya. Ketika itu dia pergi bertapa dan mempelajari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh.

Ketika dia muncul kembali, dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukan banyak gerombolan perampok, kemudian menghimpun orang-orang terlihai diantara gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Kui-jiauw-pang. Dia melatih anak buahnya dengan ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat penyambung tangan berupa cakar-cakar setan.

Cakar setan ini terbuat dari baja dan selain dapat mematahkan senjata lawan, juga mengandung racun yang amat jahat. Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini, orang akan menderita keracunan yang mengancam nyawanya!

Setelah perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lalu memilih Kui-liong-san menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat pelesir, menuntut pembagian hasil dari mereka di kota-kota yang berdekan dengan wilayah itu.

Pada suatu pagi, para anggauta Kui-jiauw-pang menjadi gempar dengan munculnya dua orang kakek didalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggauta Kui-jiauw-pang yang melihat adanya dua orang kakek itu. Tentu saja mereka menjadi marah dan menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar.

“Hai, kalian dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan kami!” bentak pemimpin diantara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar.

Dua orang kakek itu saling pandang dan menyeringai. Kakek berusia empatpuluh tahun lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok, Si Jahat nomor satu yang telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lojin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis.

Mereka dapat dipukul mundur dan karena jerih meninggalkan Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya. Tahu-tahu kini dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kui-liong-san.

Mudah diduga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam yang hendak diperebutkan semua orang kangouw. Orang kedua adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua. Rambut kepala Ji Ok amat panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Mukanya penuh dengan brewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok. Kalau Toak Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam.

“Eh, Ji Ok. Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?” Tanya Toa Ok yang merasa jengkel melihat sikap lima orang itu.






“Agaknya mereka ini gerombolan yang merajalela di pegunungan ini,” kata Ji Ok yang menghadapi mereka. Setelah memandang kepada anggauta Kui-jiauw-pang yang tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya, “Apakah kalian ini anggauta gerombolan Kui-jiauw-pang?”

“Hemm, kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapapun yang berani memasuki daerah kami harus mati!”

Setelah berkata demikian si tinggi besar itu sudah memberi isarat kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.

“Nanti dulu!” kata Ji Ok sambil menyeringai. “Kalian hanyalah anggauta, tidak ada artinya bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin kesini dan membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami. Kalau dia menolak, seluruh orang Kui-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!”

Si tinggi besar itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga heran. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kui-jiauw-pang?

“Kalian tua bangka yang bosan hidup.” Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata, “Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!”

Dia sendiri juga menerjang setelah memasang cakar setan kepada kedua tangannya. Empat orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing dan mereka berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu.

Toa Ok menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, dan dua orang penyerang terlempar seperti disambar angin badai, dan mereka roboh bergulingan karena merasa tubuh mereka seperti di bakar, lalu mereka diam dan tewas!
Ji Ok juga menggerakkan tangan kirinya dan dua orang lain terlempar dan menggigil kedinginan lalu mati kaku!

Si tinggi besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan diapun terjengkang roboh!

Si tinggi besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah menyambar kakinya dan sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan menghadap dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia berkata,

“Mohon ampun, ji-wi locianpwe! Harap ampuni saya….”

“Heh-heh, aku mau mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari memanggil Ang I Sianjin kesini dan meneyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepada kami!”

Si tinggi besar berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar dan berkata,
“Baik, locianpwe, saya menaati perintah….” Dia lalu bangkit berdiri dan merasa lega karena dia tidak dikorbankan lagi. “Sekarang juga saya hendak mengundang pemimpin kesini.”

Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kui-jiauw-pang.

Ketika si tinggi besar dengan napas terengah-engah tiba di sarang Kui-jiauw-pang, dia terus memasuki bangunan induk yang menajdi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan dimana adanya ketua mereka itu.

“Pangcu sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu,” kata pelayan itu.

Akan tetapi si tinggi besar tidak perduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja, Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin mengerutkan alisnya.

“Hemm, berani mati engkau! Ada urusan apa engkau berani mengganggu aku yang sedang makan?” bentaknya.

“Malapetaka telah menimpa kami, pangcu. Maka saya berani mengganggu pangcu. Empat orang saudara kami telah terbunuh!”

“Apa? Siapa pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?”

“Kami berlima melihat adanya dua orang kakek yang duduk di atas batu di dalam hutan bambu dibawah puncak. Kami segera menegurnya, akan tetapi dua orang kakek itu bahkan mengatakan agar kami memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kalau pangcu menolak, Kui-jiauw-pang akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang diantara kami tewas. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor kepada pangcu.”

Mendengar laporan itu, merahlah muka Ang I Sianjin.
“Apa! Kurang ajar!”

Dia marah sekali dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu meluncur dan menancap kedalam lantai sampai ke gagangnya!

Ang I Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar.
“Kumpulkan seluruh anggauta Kui-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh itu!”

Sebentar saja disitu telah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga diantara mereka yang bertugas diluar. Bagaikan pasukan yang akan berperang, mereka mengikuti ketua mereka yang berjalan di depan.

Ang I Sianjin yang berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat itu membawa sepasang pedang yang berada di punggungnya dan sebuah kipas yang dipegang di tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua Kui-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya yang melapor tadi.

Tak lama kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang. Melihat dua orang kakek itu duduk dengan tenang diatas batu besar dan mayat empat orang anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I Sianjin.

Akan tetapi ketika dia melihat dengan pandang mata penuh selidik karena dua orang kakek itu, melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yang kedua berpakaian hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menajdi semakin pucat. Tentu saja dia sudah mendengar tentang kedua orang kakek ini. Akan tetapi, dia tidak merasa takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapanpuluh orang banyaknya?

Dengan menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang itu dan berdiri di depannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi hatinya yang gelisah dan agak jerih.

“Kalau kami tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok dan Ji-mo-ong Ji Ok?”

Dua orang kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu tertawa.

“Ha-ha-ha, kiranya ketua Kui-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok.”

Ang I Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan bertanya,
“Apakah ji-wi yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andaikata mereka bersalah disini masih ada aku yang dapat menghukumnya. Kenapa ji-wi membunuh mereka?”

“Mereka menyerang kami, terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?”

Panas juga rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang meremehkannya itu. Dia sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan disitu terdapat delapanpuluh anak buahnya.

“Pedang pusaka didapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada siapapun juga.”

Tiba-tiba Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya.
“Ang I Sianjin, engkau boleh memilih. Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau dan seluruh anak buahmu, membakar sarangmu dan menggeledah sampai kami mendapatkan pedang pusaka itu?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar