Ads

Kamis, 15 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 70

Ang I Sianjin tertegun. Dia tahu bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, mencari cara yang paling menguntungkan fihaknya.

Dengan cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang datuk itu. Biarpun dia memiliki delapanpuluh orang anak buah dia tidak yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek itu menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat.

“Ji-wi tentu sudah tahu kebiasaan dunia kangouw. Memperebutkan sesuatu haruslah dilakukan dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu, kami akan menempuh cara yang sama. Disini kami berdiri dengan semua anggauta Kui-jiauw-pang kami. Kalau ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi. Akan tetapi kalau ji-wi menolak syarat ini, kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan.”

Kembali kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai.
“Keputusannya ada padamu, Toa Ok!” kata Ji Ok kepada rekannya.

Toa Ok mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Cara itu cukup adil dan baik. kalau nanti kalian kalah dan menaluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami. Kamipun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam!”

“Kalau begitu, bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!” kata Ang I Sianjin dengan hati lega.

Dengan perjanjian itu, andaikata dia dan anak buahnya kalah, mereka tidak akan dibunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang sakti itu.

“He-heh, sejak tadi kami sudah bersiap. Majulah kalian semua!” kata Ji Ok sambil menyeringai memandang rendah.

Ang I Sianjin lalu memberi isarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menajdi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang, membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh mengeroyok Ji Ok.

Mereka lalu mengepung batu dimana kedua orang datuk itu duduk dan setelah Ang I Sianjing memberi isarat, semua anak buahnya lalu memasang cakar setan di kedua tangan mereka. Mereka nampak menyeramkan, dengan kedua tangan menjadi cakar setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu.

Ketika para anggauta Kui-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan mereka, tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap hingga cakar-cakar setan itu menghantam batu. Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan cakar setan itu. Semua orang memutar tubuh dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada di belakang mereka. Demikian cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang.

Ang I Sianjin dapat melihat gerakan mereka, maka dialah yang lebih dulu memutar tubuhnya. Ketua Kui-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya amat dahsyat, cepat dan mengandung tenaga yang amat kuat. Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis.

“Trang….!”

Pedang di tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir terlepas dari tangannya. Pada saat itu, puluhan anggauta Kui-jiauw-pang telah menerjang maju dengan cepat. Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh Toa Ok.

Akan tetapi, putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa Ok. Para anggauta Kui-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh gulungan sinar tongkat, terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan. Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat dan terdorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali.






Demikian pula dengan limapuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang nampak hanya bayangan hitam saja diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar amat cepat. Setiap kali seorang anggauta Kui-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini, mereka tentu roboh terjengkang!

Ketika puluhan orang itu bangkit dan menyerang lagi, Toa Ok dan Ji Ok menghajar mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata kedua orang datuk ini yang melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar dan siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu roboh dan mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa sakit bukan main.

Ang I Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun, bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, diapun menyerang dengan ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada dan menggerakkan kipasnya menyerang bagian muka Toa Ok.

Melihat ini, Toa Ok mengerahkan tenaga dan menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang dan sekaligus menangkis kipas.

“Trang….. trak……!”

Pedang di tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok, dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun dihajar Ji Ok. Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti malapetaka bagi anak buahnya, Ang I Sianjin berteriak.

“Hentikan pengeroyokan!”

Para anggauta Kui-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada diantara mereka yang menderita luka memar dan tulang patah, akan tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang ke arah ketua mereka.

Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan ketika tangannya ditarik, keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar bagaikan kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau! Mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan perebutan diantara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)!

Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka berseri.

“Pek-lui-kiam” kata mereka berbareng dan Ji Ok sudah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.

“Cepat berikan pedang itu kepada kami!” kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya.

Akan tetapi Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang.

“Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya dapatkan dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus dapat merampasnya dari tangan saya. Saya harap ji-wi tidak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!”

“Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!” kata Toa Ok.

“Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok,” jawab Ji Ok. “Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!”

Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin.
“Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!”

“Silahkan, saya sudah siap!” jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya.

Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan.

Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang amat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan putus rusak apabila bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena setelah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, kalau dia tidak berhati-hati, dia mungkin menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.

“Awas serangan!” bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat kearah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja pecut itu akan putus.

Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala dan pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan.

Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang menjangkaunya! Diapun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di udara dan terputar membentuk gulungan sinar.

Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga menggunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya!

Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga yang nampak hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan dan segulung sinar cambuk yang menghitam. Demikianlah dalam penglihatan para anggauta Kui-jiauw-pang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar