Ads

Jumat, 16 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 72

Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu amat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap.

Gadis itu masih muda, paling banyak sembilanbelas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai. Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah ia mendaki bukit itu.

Melihat seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah diduga ia tentulah seorang gadis kangouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung dipunggungnya.

Memang ia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Ia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Gadis perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika ia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Setelah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat.

Akan tetapi Si Kong segera pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.

Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya.

Dalam usianya yang sembilanbelas tahun itu, ia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, ilmu Kwan Im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kum, ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), dan selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, ia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan ia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.

Biarpun masih muda, namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya amat menolongnya ketika ia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan tentang pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal.

Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, ia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi kalau terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, ia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat. Kini ia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka Bwe Hwa pada pagi hari itu telah tiba dikaki gunung Kui-liong-san.

Matahari telah naik tinggi, namun sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu, cuaca masih remang-remang dan sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pohon.

Namun pemandangan itu sungguh indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.

Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi ia sudah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak ketika mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.

“Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?” tanya kakek penjual bubur itu.

Bwe Hwa tersenyum.
“Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.”

Orang itu memandang penuh kekhawatiran.
“Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Disana menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu.”

“Bahaya apakah, paman?” tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal ia sudah mendengar bahwa bukit itu menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.

“Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!”






Bwe Hwa tersenyum lagi.
“Aku tidak takut kepada binatang buas, paman. Aku mempunyai pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.”

“Akan tetapi…. ah, apakah nona belum mendengar?” Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. “Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu, kunasihatkan, pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona.”

Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jerih mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan setan dan iblis oleh penjual bubur itu, tentu anak buah Kui-jiauw-pang.

Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Disana terdapat semak-semak belukar yang lebat. Ia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apak. Kemudian ia mendengar gerengan halus namun menggetarkan jantung. Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Ia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apapun.

Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya yang nongol keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Namun Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap.

Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa dapat menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimau yang lapar merupakan binatang yang amat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya.

Perlahan-lahan harimau itu melangkah, menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam, nampak otot-ototnya menggeletar. Kemudian, dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan lompatan kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman kedua kaki depan yang kuat.

Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum lagi sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi membuat dia marah sekali.

Bwe Hwa sudah mencabut pedangnya. Ia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan kini menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya sudah siap untuk menggigit apabila korbannya dapat dicengkeram dengan kedua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap. Ketika harimau itu menerkamnya, ia cepat menggeser kaki ke kiri dan pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.

“Crokk!!”

Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh lagi. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.

Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tak mampu bangkit, timbul perasaan iba di hati Bwe Hwa. bagaimanapun juga harimau itu tidak jahat. Dia menyerang siapa saja yang dapat dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan.

Tidak pantas kalau ia menyiksanya. Diapun tidak akan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depat putus, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan. Setelah mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun dan harimau itupun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam dan hampir putus!

Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum,
“Wah, hebat sekali!”

Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan diikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak. Pemuda itu nampak tampan dan terutama bersih sekali sehingga tidak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar duapuluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.

Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang pesolek dan tampan ini dan apa maksudnya muncul dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini.

Pemuda itupun seakan terpesona. Dia melihat seorang gadis yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa, berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan membunuhnya.

Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemunculannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka diapun tersenyum dan menjura memberi hormat.

“Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan dalam hutan ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju kesini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiku, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tidak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?”

Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Justeru karena kedua kaki depannya putus aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan.”

Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan kagum.
“Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga amat bijaksana. Memang, apa yang nona lakukan itu tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kita bertemu disini, karena itu sudah sepatutnya kalau kami saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlalu tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tidak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.”

Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan dia mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu.

Ketika Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya untuk membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu dan dia minta agar Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Tang Hay dan keluarganya.

Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa girang sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu, kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalas dendamnya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran.

Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, maka diapun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka, diapun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya mengapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa.

Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya, tentu dia akan menjadi marah. Akan tetapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, ia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Iapun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar