Ads

Jumat, 16 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 73

“Aku bernama Pek Bwe Hwa,” katanya singkat.

Coa Leng Kun mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
“She Pek? Aku pernah mendengar akan keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di Kong-guan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?”

Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw, karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada ditempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.

“Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,” ia menerangkan dengan pendek.

“Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!” Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!”

“Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebetulnya, apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar.”

Coa Leng Kun tersenyum.
“Tepat sekali pertanyaanmu, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi melihat kelihaianmu, aku mengerti jawabannya.”

“Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.”

“Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apalagi yang menarik hatimu untuk berkunjung kesini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?”

Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda terpelajar dan juga pandai ilmu silat yang jujur.

“Kalau dugaanmu begitu, demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang kesini karena Pek-lui-kiam pula,” katanya.

Coa Leng Kun tertawa.
“Engkau cerdik dan menduga dengan tepat, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk berhasil merebut pusaka itu kalau mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkan. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.”

Pemuda ini pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai dimana kehebatan ilmu silatnya.

“Engkau terlalu merendahkan diri, saudara Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu, kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing.”

Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Ah, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!”

Bwe Hwa tersenyum.
“Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Dan pula, mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tidak akan saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Kalau kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat bersahabat.”

“Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.”

“Keluarkan senjatamu, saudara Coa!” kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu mencabut suling perak yang terselip diikat pinggang merah dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu titiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat ia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga Sin-kang yang kuat, maka ia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka iapun berkata dengan suara lembut.






“Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir kalau sulingmu yang terbuat dari perak itu kalau bertemu dengan pedangku akan menjadi rusak.”

Leng Kun tersenyum lebar.
“Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku tidak akan rusak.”

Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.

“Aku telah siap, nona. Mulailah!”

Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Ia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?

“Lihat pedang!” bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada.

Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak lalu membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Akan tetapi dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.

“Cring… trangg…..!!”

Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.

Mereka lalu menyerang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im-kiamsut. Tubuhnya berkelabatan kesana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi dengan suara melengking-lengking!

Setelah bertanding selama limapuluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau mereka berkelahi benar-benar, ia akan menang, akan tetapi akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah puas menguji ilmu silat pemuda itu, ia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.

“Coa Leng Kun, tak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh batang!”

Gadis itu mengerahkan tenaga batinnya, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu.

Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang dan berseru,

“Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!”

Bwe Hwa tersenyum dan tidak menyerang lagi. Pemuda itu masih bengong keheranan.
“Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan.”

Bwe Hwa merasa senang. Biarpun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, akan tetapi dengan kekuatan sihirnya ia mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.

“Ah, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa.”

“Nona engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak dapat menandingimu. Pula, kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Kenapa engkau masih menyebutku saudara Coa? Terdengarnya begitu asing.”

“Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?”

“Engkau lebih muda dariku, pantas kusebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kau sebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?”

Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka iapun tidak keberatan untuk menganggap pemuda itu sebagai sahabat atau kakaknya.

“Baiklah, Kun-ko,” jawabnya sederhana.

Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun.
“Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan dimana engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari, pendekar Tan Tiong Bu dibunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali.”

“Dari siapakah engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang telah meninggal dunia itu?”

“Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan namanyapun tak seorangpun mengetahuinya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta di sebut Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi.”

“Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti sudah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Orang tuaku yang memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Akupun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw segera dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka akupun datang kesini untuk menyelidikinya.”

“Dengan kepandaianmu, aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi.”

“Aih, belum tentu, twako. Setidaknya disini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentu ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil.”

“Tidak, Hwa-moi. Aku tidak akan berebut denganmu, aku bahkan akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!”

Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, mengapa begitu baik hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih. Ayahnya sudah menasihatkan kepadanya bahwa musuh yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya? Ia harus berhati-hati.

“Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?”:

Leng Kun tersenyum.
“Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?”

“Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan.”

“Akan tetapi kita telah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa kagum sekali kepadamu, dan suka sekali. Ah, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar