“Daging harimau?” Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain. “Aku belum pernah memakannya.”
“Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Kalau pandai memasaknya, daging harimau itu lezat sekali. Biarpun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.”
Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya.
Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigannya sudah terlupa lagi olehnya. Ia hanya duduk di atas batu sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatak Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya dan setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lalu dibuatnya api unggun.
Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu ditusuk dengan belahan bambu yang didapatkan disekitar tempat itu dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang amat sedap sehingga timbul seleranya. Ia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.
“Coba cicipilah!” kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.
“Hemm, baunya sedap!” kata Bwe Hwa terus terang dan setelah daging itu agak mendingin, ia menggigitnya.
Ternyata memang lezat sekali, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena dibumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, dan Leng Kun membawa seguci arak.
Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa,
“Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku mendaki dari arah kanan. Kita bertemu diatas nanti. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang diantara kita tentu berhasil.”
Bwe Hwa mengangguk.
“Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di jalan menuju ke atas.”
“Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. “
“Sampai nanti, Kun-ko.”
Bwe Hwa lalu meloncat ke kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Diapun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya.
Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini tidak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri ditengah puncak bukit yang datar.
Selosin orang anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan menghadang ditengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak maka dapat tiba disitu tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.
“Heii, berhenti!! Siapa engkau berani datang kesini tanpa diundang?” bentak kepala jaga dengan suara lantang.
Leng Kun tersenyum dan berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata sepuluh orang itu.
“Bagus, kalian melakukan penjagaan yang ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.”
Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih.
“Serahkan ini kepada ketua kalian!”
Kepala jaga melihat bendera itu, berubah sikapnya. Dia menerima bendera itu, memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah,
“Harap kongcu suka menunggu didalam gardu sebentar menanti kembalinya pelapor.”
Leng Kun mengangguk sambil tersenyum lalu duduk di dalam gardu penjagaan. Para penjaga tidak ada yang bicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut.
Tak lama kemudian pelapor itu kembali dan mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang sudah berusia lanjut. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi.
Leng Kun bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu.
“Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?” tanya Leng Kun.
Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu dan menjawab,
“Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu.”
Leng Kun mengikuti Sam ok memasuki pintu gerbang dan dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Didalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain yang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati. Adapun orang kedua bertubuh kurus pendek, rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang, mukanya penuh rambut seperti monyet. Kalau orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin.
Begitu memasuki ruangan itu, Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin,
“Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Lui-jiauw-pang, akan tetapi mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?”
“Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Nama julukanku kini adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kiu-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa ok dan Ji Ok, yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami ini. Kami belum mengetahui siapa namamu.”
“Namaku adalah Coa Leng Kun,” jawab pemuda itu, “aku diutus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Akan tetapi dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?” Pemuda itu memandang dengan ragu kepada dua orang kakek itu.
“Heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau dapat melakukan perundingan dengan kami bertiga disini. Akan tetapi keadaanmu sungguh membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang amat penting.” kata Toa Ok.
“Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,” kata Sam Ok. “Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu asli. Toa Ok, bagaimana kalau kita mengujinya lebih dulu?”
“Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu karena orang yang tidak memiliki kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami.”
Coa Leng Kun tersenyum mengejek.
“Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak senang mendengar ketidak-percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapapun juga.”
Mulutnya berkata demikian, akan tetapi didalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia bersikap tenang.
Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang kini dipimpin oleh Kaisar Wan Li.
Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi setelah berkali-kali usahanya gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri YangTing Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, maka pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan diantara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.
Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai kalau sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata,
“Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya.”
Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berduapun telah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang amat kuat, dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai dan merekapun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Kalau Sam Ok yang menguji, mereka berduapun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu.
Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata,
“Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!”
Diam-diam leng Kun merasa lega hatinya. Diapun belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.
“Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan Pek-lian-pai yang dipercaya penuh aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian.”
Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak menggunakan senjata, diapun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
Ang I Sianjin memang tidak bermaksud terlalu mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andaikata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak melukai pemuda itu.
“Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!” kata Sam Ok.
“Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka engkau yang sepantasnya menyerang dulu, Sam Ok!” kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
“Bagus! Lihat seranganku!”
Sam Ok membentak dan diapun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biarpun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya, akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.
Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul melakukan pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!
“Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Kalau pandai memasaknya, daging harimau itu lezat sekali. Biarpun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.”
Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya.
Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigannya sudah terlupa lagi olehnya. Ia hanya duduk di atas batu sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatak Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya dan setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lalu dibuatnya api unggun.
Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu ditusuk dengan belahan bambu yang didapatkan disekitar tempat itu dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang amat sedap sehingga timbul seleranya. Ia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.
“Coba cicipilah!” kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.
“Hemm, baunya sedap!” kata Bwe Hwa terus terang dan setelah daging itu agak mendingin, ia menggigitnya.
Ternyata memang lezat sekali, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena dibumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, dan Leng Kun membawa seguci arak.
Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa,
“Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku mendaki dari arah kanan. Kita bertemu diatas nanti. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang diantara kita tentu berhasil.”
Bwe Hwa mengangguk.
“Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di jalan menuju ke atas.”
“Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. “
“Sampai nanti, Kun-ko.”
Bwe Hwa lalu meloncat ke kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Diapun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya.
Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini tidak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri ditengah puncak bukit yang datar.
Selosin orang anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan menghadang ditengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak maka dapat tiba disitu tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.
“Heii, berhenti!! Siapa engkau berani datang kesini tanpa diundang?” bentak kepala jaga dengan suara lantang.
Leng Kun tersenyum dan berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata sepuluh orang itu.
“Bagus, kalian melakukan penjagaan yang ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.”
Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih.
“Serahkan ini kepada ketua kalian!”
Kepala jaga melihat bendera itu, berubah sikapnya. Dia menerima bendera itu, memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah,
“Harap kongcu suka menunggu didalam gardu sebentar menanti kembalinya pelapor.”
Leng Kun mengangguk sambil tersenyum lalu duduk di dalam gardu penjagaan. Para penjaga tidak ada yang bicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut.
Tak lama kemudian pelapor itu kembali dan mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang sudah berusia lanjut. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi.
Leng Kun bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu.
“Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?” tanya Leng Kun.
Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu dan menjawab,
“Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu.”
Leng Kun mengikuti Sam ok memasuki pintu gerbang dan dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Didalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain yang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati. Adapun orang kedua bertubuh kurus pendek, rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang, mukanya penuh rambut seperti monyet. Kalau orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin.
Begitu memasuki ruangan itu, Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin,
“Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Lui-jiauw-pang, akan tetapi mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?”
“Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Nama julukanku kini adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kiu-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa ok dan Ji Ok, yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami ini. Kami belum mengetahui siapa namamu.”
“Namaku adalah Coa Leng Kun,” jawab pemuda itu, “aku diutus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Akan tetapi dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?” Pemuda itu memandang dengan ragu kepada dua orang kakek itu.
“Heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau dapat melakukan perundingan dengan kami bertiga disini. Akan tetapi keadaanmu sungguh membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang amat penting.” kata Toa Ok.
“Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,” kata Sam Ok. “Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu asli. Toa Ok, bagaimana kalau kita mengujinya lebih dulu?”
“Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu karena orang yang tidak memiliki kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami.”
Coa Leng Kun tersenyum mengejek.
“Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak senang mendengar ketidak-percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapapun juga.”
Mulutnya berkata demikian, akan tetapi didalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia bersikap tenang.
Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang kini dipimpin oleh Kaisar Wan Li.
Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi setelah berkali-kali usahanya gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri YangTing Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, maka pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan diantara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.
Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai kalau sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata,
“Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya.”
Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berduapun telah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang amat kuat, dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai dan merekapun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Kalau Sam Ok yang menguji, mereka berduapun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu.
Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata,
“Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!”
Diam-diam leng Kun merasa lega hatinya. Diapun belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.
“Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan Pek-lian-pai yang dipercaya penuh aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian.”
Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak menggunakan senjata, diapun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
Ang I Sianjin memang tidak bermaksud terlalu mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andaikata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak melukai pemuda itu.
“Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!” kata Sam Ok.
“Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka engkau yang sepantasnya menyerang dulu, Sam Ok!” kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
“Bagus! Lihat seranganku!”
Sam Ok membentak dan diapun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biarpun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya, akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.
Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul melakukan pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar