Ads

Senin, 19 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 79

Lam Tok mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab,

“Hemm, dimatamu tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta kalau engkau memandang kepada Gin Ciong. Seorang wanita yang mencinta seorang pria, biarpun pada lahirnya disembunyikan, namun ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya kalau ia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!”

Tentu saja Gin Ciong merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan yang terus terang antara anak dan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya? Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya. Biarpun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Diapun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu.

Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka iapun berkata dengan lembut.

“Cing-ko, harap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Terhadap ayah aku tidak mungkin dapat berbohong. Ayah benar, aku kagum kepada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria.”

Lam Tok menghela napas panjang.
“Sayang, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong, hal itu baik sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Dan bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!”

Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok.
“Saya sudah tahu, locianpwe. Bairpun saya jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun ia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa ia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong, akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya cinta Yin-moi kepadaku akan berubah.” Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.

“Hemm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang macam apakah dia itu?”

“Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, ayah.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia kelihatan gembira bukan main. “Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tidak perlu dipertanyakan lagi, akan tetapi engkau membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?”

“Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, ayah. Dia berani menolak cintaku dan menolak ketika hendak kuajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal, dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita.”

Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal.
“Hemmmm…., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku dimana dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!”

Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata,
“Sebetulnya Si Kong itu sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Akan tetapi ketika saya hendak membunuhnya, Yin-moi melarangku.”

Cu Yin mengerutkan alisnya dan menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela.
“Kalau engkau mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, aku tentu tidak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, dan terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!”

Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya.

“Hemm, sampai dimanakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?”

Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu.
“Dia lihai dan sombong sekali, locianpwe, karena dia adalah murid Pendekar Sadis CengThian Sin!”

Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut. Nama julukan Pendekar Sadis bukan nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam jerih terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.






“Hemm, jadi dia murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?”

“Aku mencintanya dan juga membencinya, ayah.”

“Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Kalau dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?”

Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata,
“Kalau dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya.”

“Dan dimana sekarang dia berada?”

“Dia pernah mengatakan bahwa diapun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini.”

“Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu.”

“Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?” tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.

Lam Tok mengepal tinju tangannya.
“Kalau dia tetap menolak, dia akan mampus ditanganku!”

Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu.

“Ayah akan mendaki puncak bersama kami?” tanya Cu Yin.

“Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama, kalian berdua akan dapat membela diri dengan baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!”

“Sampai jumpa, ayah.”

Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.

Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu dimana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berjalan cepat. Mereka adalah Si Kong dan Tang Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dulu melihat mayat bergelimpangan itu.

“Kong-ko, lihat….!” Ia menuding ke kiri.

Ketika Si Kong menengok, diapun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan.

Si Kong meraba leher satu diantara mayat-mayat itu.
“Masih hangat tubuh mereka, baru saja mereka terbunuh. Lihat, darahpun masih belum kering benar.”

Hui Lan ikut berjongkok memeriksa dan iapun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.

“Enam orang diantara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tangan hancur lebur. Mereka jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini….. ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka…….!”

“Siangkoan Cu Yin?” Hui Lan mendekati Si Kong. “Apa buktinya bahwa ia yang membunuh mereka ini?”

“Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap di tubuhh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin.”

“Hemm, mengapa ia begini ganas dan kejam?”

Si Kong menghela napas panjang, seolah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin.

“Ingat, ia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apalagi kalau ia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!”

Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir mati keracunan yang dilakukan oleh Siangkoan Cu Yin.

“Kalau ia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti ia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya.”

“Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini.”

“Apa yang hendak kau lakukan, Kong-ko?”

“Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk disini dan menjadi makanan binatang buas. Pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin.”

Hui Lan mengangguk dan diam-diam ia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Ia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong. Ia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Ia lalu membantu Si Kong menggali lubang tanpa berkata apa-apa dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati.

Akan tetapi setelah mereka berhasil menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba datang belasan orang yang mengenakan cakar setan pada tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan tahu bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Kui-jiauw-pang.

“Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!” bentak seorang diantara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggauta Kui-jiauw-pang yang berjumlah limabelas orang itu.

“Bukan kami yang membunuh mereka.” kata Si Kong dengan tenang.

“Tidak mungkin orang lain!” bentak si muka hitam. “Engkau membunuh mereka dan berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah mengubur mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!”

Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab,
“Namaku Si Kong dan nona ini adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, akan tetapi bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk disini.”

“Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!” seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dam menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.

Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan,
“Lan-moi, jangan membunuh orang!”

Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, kemudian dengan tendangan kaki dan tamparan, kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan. Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang lagi, kini bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh.

Melihat kenekatan para pengeroyok Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya, limabelas orang itu kembali terpelanting dan sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar