Ads

Senin, 19 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 80

Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena ia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa. Seorang dari mereka berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empatpuluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok usianya lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai.

Melihat munculnya lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin. Tadinya dia mengira bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san untuk ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika membentak dengan suara marah dan orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.

“Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggauta Kui-jiauw-pang?”

Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya sudah lupa dan tidak mengenalnya lagi.
“Kami berdua tidak membunuh. Orang lain yang membunuhnya dan belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Terpaksa kami melawan.”

“Hemm, apa kau kira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?” bentak si muka bopeng.

Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu, menjadi penasaran dan ia yang menjawab dengan suara lantang,

“Kalian mau percaya atau tidak, terserah! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!”

Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian dan yang paling muda diantara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.

“Nona manis, siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Diantara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan bukankah itu baik sekali?”

Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia sudah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini, Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.

“Heii, kamu ini anjing darimana berani menggonggong?”

Ia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatan sihir yang dahsyat. Empat orang yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing!

“Bhe Song Ci, apa yang kau lakukan ini? Sadarlah!” bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi.

Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat.

Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih tetap menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song Ci terkulai, rebah dan membelalakkan matanya.

“Kenapa kalian merobohkan aku?”

Dia seperti orang sehabis bangun tidur dan melihat adiknya itu sudah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit. Dia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya mengapa kakak-kakaknya menotoknya. Dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu.

Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga memiliki pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk mempermainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.






“Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?”

Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan. Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apalagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong.

Akan tetapi, sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan puteri pendekar besar Tang Hay yang biarpun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan mengelak dengan cepat dari sambaran pedang yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu iapun dapat mengukur kepandaiannya.

Memang lawannya bukan orang biasa dan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia tahu pula bahwa ia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka iapun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka!

Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ia menjadi terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah tepat hampir mengenai sasaran, akan tetapi selalu luput! Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Kedua kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser kesana sini, akan tetapi selalu serangan pedang lawannya dapat dielakkan dengan mudah!

Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Gadis itu kelihatan olehnya, seperti menanti datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci menyerang terus, kini mengerahkan seluruh tenaganya sehingga serangannya semakin kuat dan cepat.

“Haiiiitttt……!”

Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya dan sebelum dia dapat sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan menendang dari belakang.

“Bukkk!”

Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.

“Mampuslah!”

Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut. Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan menggunakan ilmu meringankan tubuh dan mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan main. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkangnya dalam tendangannya.

“Dess…..!!”

Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.

Sementara itu Si Kong mendekati Hui Lan dan berbisik,
“Mereka inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian, yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok mendiang suhu Ceng Lojin.”

Mendengar ini, Hui Lan mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi kemerahan, kedua tangannya bergerak kepunggung dan dilain saat ia sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar menyeramkan dan berwarna hitam. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) memang berwarna hitam dan pedang pusaka ini merupakan pedang yang ampuh sekali.

“Jadi kalian inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian? Kalian yang dahulu bersama Toa Ok dan Ji Ok menyerbu Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin? Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!”

Lima orang itu terkejut mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas ia demikian lihai, dan lima orang itu diam-diam merasa gentar juga. Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau Teratai Merah dimana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu dan mereka semua terluka dalam yang cukup hebat sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya.

Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima. Bagaimanapun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belum berpengalaman.

“Serbu! Bunuh bocah sombong ini!”

Bentak Ciok Khi. Mendengar perintah in, Sia Leng Tek, orang kedua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu Cong Boan, orang ketiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui Lan. Di lihat keadaannya seolah-olah seekor domba muda yang lunak dagingnya dikepung oleh lima ekor srigala yang kelaparan dan haus!

Hui Lan tidak menjadi gentar dan kembali ia mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak,

“Kalian berlima berlututlah!”

Mendengar bentakan ini, dua diantara mereka menekuk lututnya, akan tetapi mereka segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka. Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat. Diantara ilmu-ilmu yang diajarkan ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling lemah. Maka melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, iapun sudah siap dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar