Ads

Selasa, 20 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 81

Melihat gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia menanggalkan caping yang tadi menutup kepalanya dan berkata,

“Ha-ha-ha, kalian berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini berlima mengeroyok seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak Tahu Malu!”

Setelah berkata demikian, dia memungut sebatang kayu ranting pohon dan sekali melompat, dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap dengan tongkatnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya.

“Lan-moi, jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang,” bisik Si Kong.

Hui Lan yang tadinya sudah marah sekali mendengar bahwa lima orang itu yang mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat ia berkeinginan untuk membunuh mereka, kini mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar dan iapun mengangguk dan berbisik kembali.

“Baiklah, Kong-ko.”

Lega rasa hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu, kini tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui kelihaiannya, maka orang pertama, kedua dan ketiga menghadapi Hui Lan, sedangkan Si Kong dilawan oleh orang keempat dan kelima.

Belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak berani maju dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu.

Akan tetapi pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka keroyok. Biarpun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, namun pedang mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap pedang mereka bertemu tongkat, mereka merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka.

Keadaan Hui Lan lain lagi. Biarpun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat ia dihujani serangan dan kedua pedangnya menjadi senjata untuk mempertahankan diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi, tiga orang pengeroyok itupun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi penasaran dan mendesak terus.

Sambil melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya kearah Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong segera mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing) yang dimainkan berubah dengan desakan yang kuat kepada dua orang pengeroyoknya.

Dua orang itu terkejut, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat itu menghantam lutut kiri si gendut Bwa Koan Si dan dalam detik lain memukul pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan. Bwa Koan Si memegang sebelah kakinya yang terpukul dan berloncat-loncatan, tidak memperulikan lagi pedang yang dilepaskannya karena tangan kanan sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan main nyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya. Sedangkan Bhe Song Ci terpaksa melepaskan pedangnya karena pundaknya yang terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Diapun mengeluh kesakitan sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi.

Si Kong tidak lagi memperdulikan dua orang itu dan dia sudah menyerbu ke arah tiga orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya, kepungan iti menjadi kacau balau.






Ciok Khi, orang pertama yang mukanya bopeng, melihat betapa dua orang rekannya telah kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Diam-diam ia terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis!

Maka ia memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, sedangkan dia sendiri masih menyerang Hui Lan dengan ganasnya.

Akan tetapi, dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Maka, setelah seorang diri dia melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat! Semua serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya. Ciok Khi merupakan orang tertua dan terlihai diantara lima orang Bu-tek Ngo-sian. Dia merasa amat penasaran karena tidak dapat mengalahkan seorang gadis. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya.

Pertandingan antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong segera memainkan Ta-kau Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, demikian cepat dan tidak disangka-sangka gerakannya. Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka.

Akan tetapi kini Si Kong tidak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan seorang, maka dia tidak mau mengeroyok. Apalagi melihat Hui Lan mendesak lawannya dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu mengalahkannya.

Dugaan Si Kong tepat. Ketika Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan pedangnya yang mengarah pinggang, Hui Lan menggunakan pedang kirinya untuk menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel sehingga pedang mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan pedangnya dari atas kebawah mengenai pedang lawan yang sudah tertahan oleh pedang kirinya itu.

“Trakkk…..!”

Pedang di tangan Ciok Khi potong menjadi dua! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah. Empat orang saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi mereka berlima pergi meninggalkan tempat itu.

Belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka.

“Kalian jangan takut. Kami bukan orang yang membunuhi rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat untuk mengubur mereka. Kalau kami menghendaki, sekarang juga kalian sudah mati semua. Nah, sekarang setelah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka.”

Belasan orang itu merasa bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak.

**** 81 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar