Ads

Selasa, 20 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 82

Di puncak Kui-liong-san yang menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang semua orang telah bersiap-siap menghadapi pertempuran karena mereka maklum bahwa banyak tokoh persilatan mendaki pegunungan itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Pada hari itu, ketiga pangcu dari Kui-jiauw-pang mengadakan perundingan di ruangan dalam yang luas. Bwe Hwa dan Leng Kunpun ikut pula berbincang-bincang.

“Keadaan menjadi ramai sekali,” antara lain Toa Pangcu atau Toa Ok berkata. “Bukan saja banyak orang mendaki puncak ini untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan saatnya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa diantara kami yang paling lihai dan patut memperoleh julukan “Datuk Terkuat Di Dunia”. Yang akan muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok.”

Mendengar ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Ia pernah mendengar nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa mereka itu adalah dua orang yang amat kejam, tidak pantang melakukan kejahatan apapun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua). Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka itu kepadanya?

Sam Pangcu atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka diapun cepat berkata,

“Semua orang akan datang memusuhiku karena hendak merampas Pek-lui-kiam. Tentu Pek-lihiap tidak keberatan untuk membantuku kalau aku terlampau didesak oleh mereka.”

Bwe Hwa hanya mengangguk akan tetapi sukar untuk menjawab. Ia kini merasa bingung, tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan. Kalau sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau ia berkawan dengan orang-orang seperti Toa Ok dan Ji Ok yang terkenal sebagai manusia-manusia jahat. Akan tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, memperlakukannya dengan hormat dan ramah. Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka. Karena itu ia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti.

Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, ia tidak akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat. Akan tetapi kalau tuan rumah bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja ia akan membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan menyerang ia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam.

Agaknya ucapan Ang I Sianjin dan sikap Bwe Hwa itu menarik pula perhatian Toa Ok.
“Ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk terkuat di dunia. Akan tetapi kalau yang datang itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona Pek?”

Bwe Hwa terpaksa menjawab.
“Benar demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi kalian. Akan tetapi kalau urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku tidak akan tinggal diam.”

Baru mereka bercakap-cakap, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut.

“Ngo-sian, apakah yang telah terjadi?” bentak Toa Ok. Sudah lama Bu-tek Ngo-sian memang menjadi pembantu-pembantunya.

“Kami berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kami melihat betapa beberapa orang anggauta kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang amat lihai ilmu silatnya. Masih untung kami berlima tidak terbunuh dan dapat meloloskan diri.”

“Hemm, jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?” tanya Toa Ok dengan marah dan penasaran.

Lima orang pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan lawan yang tangguh sekali. Bagaimana mungkin para pembantunya ini dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis?

Lima orang Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang, kemudian Ciok Khi yang paling tua diantara mereka menjawab dengan takut-takut,

“Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada disana.”

Ji Ok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.
“Keparat, kalian berlima kalah oleh dua orang muda? Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!”

Sam pangcu atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri dan Toa Ok mengangguk menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian menuruni puncak.

Akan tetapi baru saja mereka tiba dilereng pertama, tiba-tiba saja mereka melihat seorang kakek tinggi besar dan berkepala botak, dan sepasang golok besar menempel dipunggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, bersilang tangan didepan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu dengan senyum mengejek. Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu berkata,






“Ha-ha-ha-ha, kiranya Ji Ok sudah berada disini! Dimana Toa Ok. Suruh dia maju bersamamu untuk melihat siapa diantara kita yang paling lihai!”

Ji Ok sendiri terkejut bukan main melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah seorang diantara para datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di dunia.

“Aha, kiranya Pai-ong Loa Thian Kun sudah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan menantimu dipuncak Kui-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama. Sekarang kami masih mempunyai urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak menghalangi kami.”

“Ha-ha-ha, aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kui-liong-san, di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Siapakah ketua Kui-jiauw-pang?”

“Ketuanya adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang berada disini.” jawab Ji Ok.

“Ha-ha-ha, kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku akan membiarkan kalian lewat!”

Ang I Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada disitu bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Biapun yang berada di depan mereka itu adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak,

“Enak saja engkau meminta Pek-lui-kiam! Biarpun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak takut kepadamu!”

Pai-ong Loa Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu.
“Hemm, kalau tidak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin. Engkau kiranya orang itu. Kalau kalian tidak memberikan Pek-lui-kiam sekarang juga kepadaku, terpaksa aku akan menghajar kalian!”

“Manusia sombong, siapa takut kepadamu?” bentak Sam Ok dan dia sudah menerjang maju dengan pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong.

Orang yang diserang itu masih sempat tertawa dan ketika pukulan Sam Ok sudah menyambar dekat, diapun melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok.

“Desss….!”

Tubuh Sam Ok terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kui-jiauw-pang ini terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya dengan tangan Pai-ong itu membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi dadanya. Maklumlah dia bahwa datuk Utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Ji Ok yang sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu lalu maju selangkah.
“Pai-ong, kuyakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok. Sekarang belum tiba saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada disini. Kalau engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kui-liong-san. Kalau diantara semua datuk ternyata engkau yang paling lihai, tentu saja engkau berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!”

Pai-ong tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena disini tidak ada Toa Ok, engkau merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata aku yang paling kuat diantara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus diserahkan kepadaku!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar, bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik.

“Sam Pangcu, lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu berbahaya sekali, masih untung bahwa engkau tidak terluka hebat ketika bertanding dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan Api) yang amat dahsyat.”

Ang I Sianjin mengangguk.
“Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat dimana Bu-tek Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada lagi disitu. Yang ada disitu hanyalah orang-orang Kui-jiauw-pang yang baru saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka.

“Kemana perginya pemuda dan gadis itu?” tanya Ciok Khi kepada mereka.

Melihat para pimpinan itu marah-marah, para anggauta Kui-jiauw-pang itu menjawab dengan takut-takut.

“Mereka telah pergi entah kemana.”

“Apakah kalian tadi menanyakan namanya?” tanya Sam Pangcu.

“Tidak, Sam Pangcu. Kami tidak sempat bertanya.”

Ji Pangcu dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lalu mereka semua kembali ke puncak dengan wajah lesu.

**** 82 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar