Ads

Selasa, 20 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 83

Telah dua minggu lamanya Pek Bweh Hwa menjadi tamu kehormatan dipuncak Kui-liong-san. Ia mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa ia ingin segera pergi dari situ.

“Jangan tergesa-gesa, Hwa-moi. Kita disini diperlakukan dengan ramah dan hormat, kenapa engkau menjadi tidak betah?” kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba.

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Beberapa kali ia melihat pandang mata seperti itu dan diam-diam ia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun seorang pendekar muda yang selain tampan, juga bersikap sopan dan baik terhadap dirinya. Pemuda berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang membuat ia menjadi ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini, ia melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul terhadap dirinya.

“Justeru karena pimpinan Kui-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi semakin tidak enak. Siapa tahu, dibalik semua sikap baik itu terkandung niat yang keji.”

“Aih, kenapa engkau menjadi curiga? Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada kita, terutama sekali kepadamu? Mereka bahkan telah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadamu!”

“Hal itu juga membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka bersiap-siap untuk melawan semua orang yang datang kesini untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku! Rasanya tak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang.”

“Hemm, aku tidak dapat membantahmu kalau begitu, Hwa-moi. Akan tetapi jangan sekarang kita pergi, Hwa-moi. Tunggulah beberapa hari kalau mereka sedang bergembira.”

“Baik, aku menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau engkau merasa senang tinggal disini, engkau tinggallah disini dan aku akan turun puncak seorang diri.”

Percakapan itu membuat Leng Kun gelisah sekali. Maka dia lalu merundingkannya dengan ketiga ketua Kui-jiauw-pang. Selagi mereka berunding, muncullah empat orang wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa Cu. Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat).

Sebetulnya mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran Budha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap pengkhianat dan setelah menjadi buronan, empat orang ini lalu masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw. Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung keatas memakai tali sutera putih dan di Pek-lian-kauw mereka mendapat kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai.

Ketika Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggauta Pek-lian-pai juga, pergi ke Kui-jiauw-pang untuk membantu Kui-jiauw-pang mempertahankan pedang pusaka Pek-lui-kiam, dan setelah Leng Kun berada di Kui-jiauw-pang, pemuda ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai. Maka pimpinan perkumpulan pemberontak itu lalu mengirim See-thian Su-hiap untuk memperkuat Kui-jiauw-pang, membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai.

See-thian Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kui-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai juga mendaki puncak Kui-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang hati dan tangan terbuka. Ketika Leng Kun sedang membicarakan keinginan Bwe Hwa yang akan meninggalkan tempat itu, muncullah See-thian Su-hiap ke ruangan yang luas itu.

Munculnya empat orang ini menyadarkan Leng Kun.
“Ahh, kenapa aku hampir melupakan kehadiran empat orang totiang disini? Kalian dapat membantu aku!”

See-thian Su-hiap dipersilakan duduk, dan Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng Kun.
“Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?”

“Kami baru saja membicarakan tentang nona Pek Bwe Hwa yang mulai bercuriga kepada kita dan ia ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil dan kita akan dapat menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi meninggalkan puncak.”

“Apa yang harus kami lakukan?”






“Sebaiknya kita merundingkan hal itu diruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini.”

Toa Ok tertawa.
“Ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan agar menjadi jinak dan penurut, ha-ha-ha!”

Leng Kun mengajak See-thian Su-hiap ke ruangan lain dan disitu mereka bicara. Leng Kun minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi miliknya, gadis itu tentu selanjutnya akan taat kepadanya.

Malam itu gelap dan sunyi sekali. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi.

Bwe Hwa tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja ia terbangun seperti ada yang menggugahnya. Tadi ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia pesiar dengan Leng Kun dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan memeluknya. Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan tetapi sungguh aneh, ia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya ia dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu ia tergugah dari tidurnya.

Bwe Hwa merasa betapa tubuhnya panas. Ia bangkit duduk dan menghapus peluh dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba ada hasrat timbul di hatinya untuk mencari Leng Kun! Entah mengapa, ia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan orang yang bermimpi, ia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar, membuka pintu itu dengan perlahan, lalu ia melangkah keluar.

“Kun-ko…..”

Ia berbisik. Pada saat ia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan tiba-tiba Bwe Hwa seperti orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Ia merasa heran mengapa ia berada diluar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk menuju ke kamar Leng Kun. Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai dirinya agar ia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tak wajar yang memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun.

“Jahanam…..!” bisiknya dan iapun menyilangkan kedua lengannya depan dada sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu.

Sebentar saja dorongan kekuatan itu berhenti dan ia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah kalau ia teringat betapa tadi ia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan kemarahan memenuhi hatinya.

Timbul keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun dan memakinya, karena ia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan sihir untuk menguasainya, akan tetapi kesadarannya membuat ia mencegah perbuatan ini.

“Tidak,” katanya kepada diri sendiri. “Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini.”

Maka ia lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu, ia mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil.

“Kun-ko, bukalah pintu, biarkan aku masuk.”

Daun pintu segera terbuka karena memang tidak dikunci, dan dari dalam muncul Leng Kun, akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat tosu yang baru beberapa hari ini menjadi tamu pula disitu. Bwe Hwa segera menyadari bahwa empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya.

Bwe Hwa merasa lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walaupun ia berada dalam pengaruh sihir, kewaspadaannya membuat ia tanpa disengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam dan Pek-lui-kiam. Kini ia memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan.

“Coa Leng Kun, apa yang kau lakukan bersama empat orang pendeta itu?” bentaknya dengan marah.

“A….. apa……. maksudmu?”

Leng Kun bertanya dengan gelagapan karena terkejut dan bingung bahwa gadis itu sama sekali idak berada dalam pengaruh sihir seperti disangkanya semula ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Dia sudah siap untuk merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tidak mengira Bwe Hwa akan membentak seperti itu.

“Hemm, jangan pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini telah menggunakan kekuatan sihir untuk mencelakakan aku!”

Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu.

Melihat ini, Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara.
“Su-wi totiang, tolonglah aku!”

Empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga mengira bahwa ilmu sihir mereka pasti akan membuat gadis itu tidak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar suara gadis itu diluar pintu. Segera mereka berloncatan keluar dari kamar sambil mencabut pedang masing-masing.

Ketika mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera menyetujui karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong. Padahal, Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang telah membinasakan Lan Hwa Cu, paman guru mereka. Mereka lalu menggunakan siasat memancing Bwe Hwa dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun.

Melihat empat orang pendeta itu berloncatan dan mengepungnya dengan pedang di tangan dan Keng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya.

Melihat empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun berkata,

“Su-wi totiang, tangkap ia hidup-hidup untukku!”

Bukan main marahnya Bwe Hwa. Ia meloncat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan pedangnya, akan tetapi Leng Kun menghindar dan empat orang tosu itu sudah menyerangnya dari empat penjuru.

Bwe Hwa memutar pedangnya untuk menangkis dan ia terkejut kiranya empat orang tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Kalau ia dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun, ia dapat celaka. Maka ia mengambil keputusan dengan cepat. Ia menggunakan jurus terampuh dari Kwan-im-kiamsut sehingga empat orang tosu itu terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu.

“Kejar ia…..!” terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biarpun cuaca hanya remang-remang disinari bulan yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa ada halangan.

Penjagaan diwaktu larut malam itu tidak ketat lagi, para penjaga lebih banyak yang tertidur daripada yang terjaga. Sedikit penjaga itupun tidak berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka.

Setelah lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para pengejarnya.

Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang lihai itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan Kui-jiauw-pang dengan wajah lesu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa.

Bwe Hwa tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Ia maklum bahwa kalau ia tersusul, dan terpaksa melayani serangan mereka ia akan kalah. Apalagi kalau diingat bahwa disana masih ada Bu-tek Ngo-sian, Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu.

**** 83 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar