Ads

Selasa, 20 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 84

Bwe Hwa merasa lega setelah fajar menyingsing dan ia tidak melihat ada orang yang memburunya. Ia mengaso di balik semak belukar dan menghela napas karena lega. Kemudian ia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di pinggangnya. Bagaimanapun juga, tidak sia-sia ia menjadi tamu Kui-jiauw-pang karena ia telah mendapatkan pedang pusaka itu. Akan tetapi ia merasa menyesal sekali atas perbuatan Leng Kun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan tampan, bersikap halus itu, ternyata hanya seekor srigala berkedok domba.

Ia akan bersembunyi dulu dan kalau sudah ternyata bahwa ia tidak dikejar, ia akan menuruni puncak gunung dan membawa pedang pusaka pulang ke Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada ayah ibunya. Ah, betapa mereka akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan seluruh tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah.

Setelah matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos diantara celah-celah daun pohon, Bwe Hwa merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin para pengejarnya mengambil arah lain. Ia lalu keluar dari belakang semak-semak dan hendak melamjutkan perjalanan. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang dikenal oleh Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya semalam!

Tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam dan memasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan mati-matian. Ia maklum akan ketangguhan para pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja ia tidak akan menyerah.

“Hwa-moi, aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi mengapa engkau melarikan diri? menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia sebagai suami isteri." Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata halus.

Akan tetapi ucapan itu menambah kebencian hati Bwe Hwa, seorang pemuda yang demikian lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis!

"Coa Leng Kun, manusia jahat, aku tidak akan menyerah sampai mati!"

Bwe Hwa lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukkan ke arah dada.

"Tranggg...!"

Leng Kun menangkis dengan sulingnya dan dia terhuyung karena Bwe Hwa dalam serangannya tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang dan mengeroyoknya, Bwe Hwa memutar pedangnya dan mengamuk. Akan tetapi dia segera dikepung oleh lima orang itu dan betapapun lihainya dikeroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan dan ia segera terdesak.

Dalam keadaan terdesak ini, Bwe Hwa teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Ia teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka iapun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan dilain saat ia telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar berkilat ketika ia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tidak menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memutar Pek-lui-kiam di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan.

Dengan pengerahan tenaga ia menangkis hujan senjata lima orang pengeroyoknya itu
dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan merusak senjata para pengeroyoknya.

"Trangg.. trangg... trangg..!!" terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis itu
bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya.

Akibat pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu telah patah
menjadi dua potong!

Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa ia telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Kalau pedang asli tidak mungkin patah bertemu dengan senjata lawan. Kalau pedang itu selemah itu, tidak mungkin dijadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw. Iapun membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali ia harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi.

Tubuh Bwe Hwa sudah basah oleh keringatnya sendiri. Ia terpaksa mengerahkan tenaga sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini menguras tenaganya dan membuat ia lelah sekali. Akan tetapi gadis perkasa ini sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia memainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat ia belum juga dapat disentuh senjata para pengeroyok.






Memang ilmu pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, akan tetapi mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe Hwa seringkali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak sempat lagi menyerang. Dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu,

"Enci Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing ini!"

Orang yang berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan. Gadis perkasa ini telah mencabut Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang menyerbu kearah lima orang pengeroyok itu.

Mereka terkejut dan segera berlompatan ke belakang untuk melihat lebih jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu.

Hui Lan kini juga dapat memandang mereka dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat
Leng Kun. Ia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika ia diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Coa Leng Kun, pemuda itu yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang tosu yang lihai!

"Nona Tang.., engkaukah ini?" Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan menegur.

"Benar aku! dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!" jawab Hui Lan sambil memandang dengan mata mencorong. Untung ia dahulu menjauhkan diri dari Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab.

"Adik Hui Lan, engkau mengenal bangsat ini? Jangan tertipu oleh gayanya yang lembut dan baik, sebetulnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!"

"Coa-sicu, siapakah gadis ini?" tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap kepada Leng Kun.

“Su-wi To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah ketua Cin-ling-pai!"

"Ahhh! Kebetulan sekali, kalau begitu kita bunuh dua orang gadis, puteri musuh kita ini!" bentak Kui Hwa Cu dan dengan marah dia menyerang Bwe Hwa lagi.

Akan tetapi Hui Lan yang meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu. Dalam beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak dan dua orang rekannya segera membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun menhadapi Bwe Hwa.

"Kong-ko, kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing ini?"

Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui Lan dan hanya menonton saja dibawah pohon.

Melihat Si Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari serangan dua orang lawannya, iapun berseru,

"Kong-ko, bagus sekali engkau juga datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat ini!"

"Hemm, kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!" kata Si Kong.

Leng Kun dan See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka kewalahan karena gadis ini begitu hebat sepak terjangnya. Dua batang pedangnya itu seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang diantara See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apalagi kalau ditambah lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu, Kui Hwa Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan.

"Pergi..!"

Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil melemparkan suatu benda ke depan mereka.

"Awas! Menghindar!" teriak Si Kong dan dua gadis itu menaati aba-aba ini cepat meloncat kebelakang dan berlindung di belakang pohon besar.

"Darrrr...!"

Benda itu setelah menyentuh tanah lalu meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal. Si Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkangnya, kedua tangannya mendorong ke depan dan asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar saja membubung ke atas dan tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi ternyata lima orang itu lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan asap hitam tebal tadi.

Bwe Hwa memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam ia merasa iri mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang ia kagumi itu. Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika ia membantu ketua Hek-i-kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih lanjut dan pemuda itu segera berpamit dan pergi.

"Adik Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul disini?"

"Kami memang melakukan penyelidikan ke bukit Kui-liong-san ini, enci Bwe Hwa. Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?"

"Panjang ceitanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka."

"Aihh, diantara kita, mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa? Kami bersyukur sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Akupun pernah bertemu dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu silatnya lihai sekali. Siapa kira dia seorang yang berwatak jahat."

"Aku sendiripun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia dan bersamanya naik ke puncak bukit ini. Dia sudah mengenal ketua Kui-jiauw-pang maka dia mengajak aku menemui para pimpinan Kui-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kui-liong-pang menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka telah menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!"

"Ahh...!" Hui Lan berseru.

"Bohong semua itu! Tipuan belaka! Tadi malam empat orang tosu itu membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng Kun. Aku menyadari akan pengaruh sihir maka dapat membebaskan diri dari pengaruh itu. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir dan diam-diam telah membawa pedangku Kwan-im-
kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka. Aku sengaja mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata Leng Kun berniat busuk terhadap aku dan dikamarnya terdapat empat orang pendeta itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga. Aku terpaksa melarikan diri sampai disini. Setelah fajar, aku mengira mereka tidak mengejarku, maka aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kembali dan kembali aku dikeroyok disini sampai engkau muncul membantuku."

"Dan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?" tanya Si Kong yang juga tertarik oleh cerita Bwe Hwa.

"Pedang Pek-lui-kiam palsu!" kata Bwe Hwa yang lalu memungut pedang yang telah patah menjadi dua potong itu. "Inilah pedang itu. Ketika terdesak tadi, aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini patah ketika bertemu dengan senjata mereka!"





Tidak ada komentar:

Posting Komentar