Ads

Selasa, 20 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 85

Si Kong memeriksa dua potong pedang itu.
"Memang palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa semua yang kau alami itu telah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat lolos dari siasat licik mereka. Akan tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan kekuatan mereka."

"Yang menjadi ketua Kui-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu, Ji-pangcu dan Sam-pangcu. Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok, dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu berjubah merah. Disamping ketiga ketua ini, disana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang tosu tadi yang juga lihai. Anak buah Kui-jiauw-pang kurang lebih seratus orang, dan aku pernah melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat orang tosu itu."

“Hemm, kalau begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko, ternyata mereka yang berkuasa di puncak dan menjadi pimpinan Kui-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin."

"Memang kedudukan mereka kuat sekali." Kata Si Kong dengan tenang. "Dan kita belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka."

"Sudah pasti, Kong-ko!" kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata yang tajam. "Lihat saja pedang palsu ini. Kalau mereka tidak menguasai Pek-lui-kiam yang asli, bagaimana mereka dapat membuat yang palsu? Sekarang aku baru tahu mengapa mereka semudah itu menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku. Ternyata mereka hanya mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng Kun itu!” Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya.

"Sebenarnya siapakah Coa Leng Kun itu? Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa? Dan empat orang tosu itu, dari manakah mereka?"

"Aku sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lojin. Entah benar atau tidak keterangan itu. Dan mengenai empat orang tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana."

Si Kong yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata,
"Empat orang tosu itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang Pek-lian-kauw."

"Pek-lian-kauw yang dipergunakan sebagai agama dan dipergunakan untuk menutupi kejahatan Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?" tanya Hui Lan sambil memandang wajah Si Kong.

“Kalau begitu, Kui-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?” tanya Bwe Hwa.

“Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Datuk-datuk besar seperti Toa Ok dan Ji Ok menguasai perkumpulan kecil seperti Kui-jiauw-pang, untuk apa mereka melakukan itu kalau bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?” kata Si Kong.

“Kalau begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggauta Pek-lian-kauw?” tanya Bwe Hwa.

“Bisa jadi,” kata Si Kong. “Kedudukan mereka kuat sekali. Kalau kita bertiga naik ke puncak dan harus menghadapi mereka semua, kita akan kalah kuat.”

“Lalu bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam saja membiarkan pedang Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?” tanya Bwe Hwa penasaran.

“Tentu saja tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui kehadiran kita bertiga, tentu mereka akan melakukan penjagaan kuat. Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi dulu di dalam guha yang kami temukan di bawah lereng ini.”

“Benar, enci Bwe Hwa. Guha itu besar dan tersembunyi, baik untuk persembunyian kita untuk sementara. Aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw akan datang ke puncak Kui-liong-san untuk memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Biarlah mereka naik dulu dan bertanding dengan pimpinan Kui-jiauw-pang. Dalam keadaan ribut itu, baru kita mendaki puncak sehingga kita tidak perlu harus menghadapi pengeroyokan orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai,” kata Hui Lan yang menyetujui usul Si Kong.

Demikianlah, tiga orang muda itu menuruni lagi lereng itu dan mereka tiba di tempat yang dimaksudkan tanpa halangan. Seperti dikatakan oleh Si Kong, tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik sekali. Guha itu lebar dan dalam sehingga mereka akan terhindar dari hujan dan panas, dan tak jauh dari situ, disebelah kiri guha terdapat air pancuran yang jernih sekali. Guha itu tertutup oleh semak belukar sehingga tidak nampak dari luar. Si Kong dan Hui Lan menemukan guha itu tanpa disengaja. Mereka berdua sedang memburu kijang yang sudah terluka oleh sambitan batu Si Kong, dan kijang itulah yang membawa mereka menemukan guha itu.






Bwe Hwa juga senang melihat guha itu yang lantainya sudah ditutup rumput dan daun kering. Kalau malam mereka dapat membuat api unggun di dalam guha untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Melihat pancuran air jernih itu, Bwe Hwa ingin sekali mandi dan bertukar pakaian.

“Kau mandilah dulu, enci Bwe Hwa. biar aku menyusul setelah engkau selesai mandi,” kata Hui Lan.

Bwe Hwa lalu membawa pakaian yang bersih ke pancuran air yang juga tertutup semak sehingga tidak nampak dari guha. Gadis ini mandi membersihkan dirinya dan perasaan bahagia menyelimuti perasaan hatinya sehingga tanpa terasa ia bersenandung!

Setelah Bwe Hwa pergi mandi, Hui Lan duduk berdua saja dengan Si Kong.
“Engkau sudah mengenal baik enci Bwe Hwa, bukan? Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?”

Si Kong mengangguk.
“Mengenal baik sih belum. Baru satu kali aku bertemu dengannya dan kami sempat bertanding karena kesalah pahaman antara kita. Aku salah duga bahwa Hek I Kaipang itu perkumpulan pengemis yang sesat maka aku menyerbu kesana. Sebaliknya Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan Hek I Kaipang, karena ketua perkumpulan itu kenalan ayahnya dan dia sedang mencari keterangan tentang Pek-lui-kiam. Karena kesalah-pahaman ini kami bertanding dan ia segera mengenal ilmu silatku. Demikianlah, kami baru bertemu satu kali dan berkenalan.”

“Akan tetapi bagaimana pendapatmu tentang dia, Kong-ko?”

Si Kong memandang tajam.
“Mengapa engkau tanyakan itu, Lan-moi?”

“Karena aku ingin tahu pendapatmu tentang ia, apakah cocok dengan pendapatku.”

Si Kong tersenyum.
“Ah, mudah saja menilai Bwe Hwa. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan ia pemberani pula.”

Hui Lan mengangguk-angguk.
“Tepat, memang ia cocok sekali dengan engkau Kong-ko.”

Si Kong tertegun.
“Cocok, apa maksudmu, Lan-moi?”

“Maksudku bahwa ia memang cocok dan pantas sekali untuk menjadi pasanganmu!”

Si Kong terbelalak dan dia melihat wajah Hui Lan berubah agak kemerahan.
“Ah, engkau ini ada-ada saja, bicara yang tidak karuan!” dia menegur halus serius.

Akan tetapi Hui Lan masih berkata,
“Seorang pemuda seperti engkau harus mendapatkan pasangan yang setimpal, Kong-ko. Dan kalau ada gadis yang pantas mendampingimu, maka enci Bwe Hwa itulah orangnya!”

“Aih, jangan begitu, Lan-moi. Engkau membuat aku menjadi salah tingkah dan malu.”

Kata Si Kong sambil tersenyum lebar dan menganggap gadis ini hanya bergurau dan menggodanya saja. Akan tetapi percakapan itu terhenti karena suara Bwe Hwa memangggil.

“Adik Hui Lan, aku sudah selesai! Kesinilah menggantikan aku mandi!”

Terdengar langkah kaki Bwe Hwa yang lari ke guha. Hui Lan segera bangkit dan mengambil pakaian penggantinya. Bwe Hwa muncul dengan wajah segar kemerahan, rambutnya basah terurai dan tangannya membawa pakaian bekas pakai yang tadi telah dicucinya.

“Wah, airnya jernih dan sejuk sekali, Lan-moi!” katanya gembira. “Aku benar beruntung sekali bertemu dengan kalian.”

“Aku hendak mandi dan mencuci pakaian. Engkau temani Kong-ko disini enci Bwe Hwa!” kata Hui Lan yang cepat lari menuju ke pancuran air.

“Ah, rambutku basah dan awut-awutan!” kata Bwe Hwa sambil tersenyum dan menggosok-gosok rambut kepalanya dengan sehelai kain. “Tentu jelek sekali seperti iblis betina. Benar tidak, Kong-ko?”

Di tanya demikian terpaksa Si Kong memandang gadis itu dan melihat rambut hitam
panjang yang terurai itu dan terpaksa dia menjawab sejujurnya.

“Rambutmu indah sekali, Hwa-moi!”

“Aih, benarkah itu?”

“Aku berkata dengan jujur, bukan pujian untuk menyenangkan hatimu saja.”

Bukan main girangnya rasa hati Bwe Hwa mendengar ucapan itu. Pemuda itu bukan merayu, melainkan memuji sejujurnya. Wanita manakah yang tidak akan bangga dan girang kalau dirinya dipuji, bukan sekedar rayuan melainkan pujian yang sejujurnya?

Bwe Hwa lalu menggelung rambutnya setelah mengeringkan dengan kain. Sungguh sedap dipandang kalau wanita sedang menggelung rambutnya, dengan kedua tangan diangkat, dengan cekatan menata rambut itu. Apalagi wanita secantik Bwe Hwa.

Sambil menyusut mukanya dengan kain, Bwe Hwa memandang kepada Si Kong dan ternyata pemuda itu tidak memandangnya. Si Kong memang tidak berani memandang lama-lama takut terpesona oleh keindahan tubuh Bwe Hwa.

“Kong-ko, engkau dan Hui Lan tentu telah bergaul erat sekali, bukan? Engkau melakukan perjalanan kesini bersama-sama dan tentu telah mengalami banyak hal bersama pula. Sudah berapa lamakah engkau melakukan perjalanan dengan Hui Lan?”

“Kurang lebih setengah bulan,” jawab Si Kong sebenarnya.

“Ia seorang gadis yang amat lihai dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan?”

“Memang ia lihai, mewarisi ilmu-ilmu ayah ibunya.”

Kembali Si Kong menjawab dengan wajar, namun hatinya mulai heran mengapa Bwe Hwa bicara tentang Hui Lan dan tadi Hui Lan bicara tentang Bwe Hwa. Benar mirip sekali watak dua orang gadis ini. Si Kong memandang wajah Bwe Hwa dan melihat dagu yang indah itu terhias tahi lalat yang membuat ia nampak semakin manis. Akan tetapi hanya sebentar Si Kong memandang, lalu menunduk lagi.

“Dan ia canti jelita! Jarang sekali ada gadis secantik ia yang memiliki ilmu kepandaian setinggi ia. Betulkah, Kong-ko?”

Heran bin ajaib, pikir Si Kong. Mengapa sama benar arah percakapan Bwe Hwa ini dengan Hui Lan tadi? Seolah mereka berdua telah bersepakat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Terpaksa kembali dia menjawab sejujurnya.

“Betul memang ia cantik jelita dan lihai.”

“Ya, aku tahu. Memang ia paling cocok kalau mendampingimu, menjadi pasanganmu!”

Si Kong tertegun. Mengapa persis benar?
“Apa…. apa maksudmu dengan ucapan itu, Hwa-moi?”

“Tanpa kau akui akupun sudah dapat menerka, Kong-ko. Engkau dahulu begitu tergesa-gesa meninggalkan aku sehingga aku tidak sempat bicara banyak. Engkau begitu angkuh! Akan tetapi sekarang engkau melakukan perjalanan bersama Hui Lan sampai setengah bulan. Itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bahwa engkau dan Hui Lan saling mencinta. Benar bukan?” Bwe Hwa kini menatap wajah Si Kong dengan tajam penuh selidik.

“Ah, tidak sampai begitu jauh, Hwa-moi. Kami melakukan perjalanan bersama karena kebetulan saja, yaitu kami berdua mempunyai keinginan yang sama untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Harap jangan menyangka yang bukan-bukan!”

“Aih, Kong-ko, aku dapat melihat pandang mata Hui Lan begitu bersinar penuh cinta ketika memandangmu. Hui Lan mencintamu, itu sudah jelas.”

“Aku tidak tahu akan hal itu, Hwa-moi.”

“Jangan pura-pura, engkau sendiri juga mencintanya, bukan?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar