Ads

Sabtu, 24 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 86

“Ah, aku tidak tahu, Hwa-moi. Aku belum pernah memikirkan tentang hal itu. Aku adalah murid mendiang Ceng Lojin, sedangkan Hui Lan adalah cucu buyutnya, maka aku merasa seperti melakukan perjalanan dengan saudara sendiri.”

Percakapan itu terhenti oleh panggilan Hui Lan.
“Kong-ko, aku sudah selesai, engkau mandilah!”

“Baik, engkau kembalilah kesini, Lan-moi. Aku akan segera menggantikanmu.”

Si Kong menyambar buntalan pakaiannya lalu pergi dari situ ketika melihat Hui Lan datang memasuki guha itu. Dia merasa tidak enak kalau berada di dalam guha menghadapi dua orang gadis itu. Hui Lan menduga bahwa dia tertarik kepada Bwe Hwa dan sebaliknya Bwe Hwa menduga bahwa dia mencinta Hui Lan. Dia merasa seperti menjadi seekor domba yang akan diperebutkan oleh dua ekor singa betina!

Dia memang kagum kepada Hui Lan akan kecantikan dan kelihaiannya, akan tetapi dia juga kagum kepada Bwe Hwa. Tidak terbayangkan olehnya tentang cinta! Orang seperti dia, hidup sebatang kara, tanpa sanak kadang, miskin tidak mempunyai apa-apa, seorang petualang miskin, bagaimana sempat memikirkan tentang cinta dan perjodohan? Kalaupun ada perasaan cinta masuk ke dalam hati akal pikirannya, seketika akan diusirnya dengan penuh kesadaran bahwa perjodohan bukanlah milik seorang petualang miskin seperti dia.

Demikianlah, Si Kong berpikir-pikir sambil mandi. Dia sengaja membawa buntalan pakaiannya karena dia merasa tidak tahan lagi kalau menghadapi dua orang gadis yang seolah-olah saling cemburu itu. Akan tetapi hatinya masih meragu apakah sikapnya tidak terlalu kaku terhadap dua orang gadis itu kalau dia meninggalkan mereka!

Sementara itu, Bwe Hwa memandang Hui Lan yang baru selesai mandi itu dengan pandang mata iri. Dalam pandangannya Hui Lan cantik sekali dan inilah yang membuat ia merasa iri. Ia hampir merasa yakin bahwa Si Kong saling mencinta dengan Hui Lan. Kalau memang benar demikian, ia harus mengalah. Akan tetapi siapa tahu Si Kong benar-benar belum jatuh cinta kepada Hui Lan seperti yang dikatakan tadi. Kalau benar demikian, masih ada kesempatan baginya untuk mengharapkan pemuda itu dapat mencinta dirinya.

“Adik Hui Lan, engkau nampak cantik sekali sehabis mandi dengan rambut terurai itu.”

Hui Lan memandang kepada Bwe Hwa sambil tersenyum.
“Terima kasih, enci Bwe Hwa. Engkau sendiri juga cantik bukan main.” Hui Lan duduk diatas lantai dan mengeringkan rambutnya.

“Hemm, setiap orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepadamu, Hui Lan!” Bwe Hwa tersenyum.

Hui Lan mengangkat muka menatap wajah Bwe Hwa lalu berkata,
“Ihh, enci Bwe Hwa. Mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak perduli ribuan orang pria jatuh cinta kepadaku. Demikian pula engkau tentu mudah merobohkan hati pria yang manapun dengan kecantikanmu dan kepandaianmu.”

“Aku tidak akan merobohkan hati pria manapun, adik Lan. Akan tetapi jelas nampak olehku betapa engkau saling mencinta dengan Si Kong! hayo sangkal kalau kata-kataku tidak benar!”

Biarpun dalamn nada suaranya terdengar pahit, namun Bwe Hwa memandang Hui Lan dengan senyum manis.

Hui Lan menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi menggosok untuk mengeringkan rambutnya dengan kain. Ia memandang Bwe Hwa dengan mata terbelalak, kemudian menggelung rambutnya seolah tidak pernah mendengar kata-kata Bwe Hwa tadi.

“Bagaimana, Lan-moi? Kata-kataku benar, bukan? Mudah saja bagiku untuk melihat bahwa engkau mencinta dia dan diapun mencintamu. Jawablah!”

Hui Lan menyelesaikan gelung rambutnya dan ia memandang Bwe Hwa dengan wajah serius.

“Enci Bwe Hwa, kepadamu aku tidak perlu berbohong. Engkau mengatakan bahwa aku mencinta Kong-ko, dan hal itu tidak perlu kusangkal. Memang benar aku kagum dan tertarik sekali kepada Kong-ko, akan tetapi itu tidak berarti bahwa diapun suka kepadaku. Dan akupun dapat menduga bahwa engkau juga suka dan kagum kepadanya, bahwa engkau mencintanya, enci Bwe Hwa!”

Wajah Bwe Hwa berubah kemerahan, akan tetapi sebagai seorang gadis yang gagah perkasa ia tidak berpura-pura. Seperti juga Hui Lan ia berani mengakui apa yang tersembunyi di dalam hatinya.






“Terus terang saja, dugaanmu itu benar, Lan-moi. Belum pernah aku tertarik kepada pria kecuali dia. Akan tetapi apakah dia suka kepadaku, hal ini masih belum dapat diketahui.”

Hening sejenak. Kedua orang gadis perkasa dan cantik jelita itu menundukan muka dengan alis berkerut. Mereka menyadari bahwa diantara mereka terdapat jurang pemisah yang ditimbulkan oleh rasa cinta mereka terhadap seorang pemuda! Mereka seolah menjadi saingan.

“Ternyata kita mencintai orang yang sama, Lan-moi. Sungguh sebuah kenyataan yang pahit sekali. Tidak mungkin kita memperebutkan hati seorang pria. Sekarang begini saja, Lan-moi. Kita lihat saja nanti, siapa diantara kita yang dicinta oleh Kong-ko, ialah yang berhak menjadi pasangannya. Yang tidak dicinta harus mengalah. Bagaimana pendapatmu?”

Kedua pipi Hui Lan berubah kemerahan, Bwe Hwa telah bicara dari hati ke hati, secara terbuka dan sejujurnya. Ia harus menghargai sikap ini, walaupun terdengar memalukan dua orang gadis membicarakan cintanya terhadap seorang pemuda dengan gadis lain! Akan tetapi ia dapat menghargai kejujuran Bwe Hwa. Dalam urusan hati seperti ini memang sebaiknya kalau mereka berdua bersikap terbuka dan jujur sehingga tidak menimbulkan dendam diantara mereka seperti kalau hal itu tidak dibicarakan sejujurnya dan disimpan menjadi rahasia sehingga mereka berdua akan saling cemburu.

“Lega hatiku mendengar keterbukaan, enci Bwe Hwa. Dengan kejujuranmu ini kita berdua tidak perlu saling bersaing dan saling cemburu. Aku setuju dengan pendapatmu. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kita lihat saja nanti siapa diantara kita yang dicinta Kong-ko.”

“Aku juga girang dengan kejujuranmu, adikku!” Bwe Hwa merangkul Hui Lan dan mereka saling berangkulan dengan hati lega dan terharu.

Setelah lama mereka menanti munculnya Si Kong dan pemuda itu belum juga datang, mereka merasa heran. Hui Lan lalu bangkit dan berjalan keluar guha, diikuti oleh Bwe Hwa.

“Kong-ko, sudah selesaikah engkau mandi?” Hui Lan berteriak lantang, akan tetapi tidak terdengar jawaban.

“Kong-ko, dimana engkau?” teriak Bwe Hwa sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh.

Akan tetapi Bwe Hwa inipun tidak memperoleh jawaban. Suasananya sunyi saja. Matahari telah naik di langit timur dan kedua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Mereka berdua berseru kembali beberapa kali untuk memanggil Si Kong, namun tetap saja tidak ada jawaban.

“Hatiku merasa tidak enak, Lan-moi. Mari kita lihat di pancuran air,” kata Bwe Hwa.

Kedua gadis itu lalu pergi ke tempat air memancur dimana mereka tadi mandi dan mencuci pakaian. Akan tetapi tidak nampak Si Kong disana. Mereka lalu memandang ke kanan kiri sambil berteriak memanggil nama Si Kong.

“Enci Bwe Hwa, lihat disana itu!” kata Hui Lan.

Bwe Hwa menengok dan melihat apa yang ditunjuk oleh Hui Lan. Di tanah padas yang berbentuk dinding nampak coretan-coretan. Mereka berdua lalu melompat mendekat dan benar apa seperti dugaan mereka, coret-coretan itu merupakan huruf-huruf yang diukir pada tanah padas itu. Kedua orang gadis itu berlumba membacanya dengan hati khawatir.

“Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tak terikat apapun juga!”

Setelah membaca bunyi tulisan di tanah padas itu, Hui Lan dan Bwe Hwa merasa betapa tubuh mereka menjadi lemas. Mereka berdua mengerti benar bahwa Si Kong sengaja menjauhkan diri dari mereka, karena merasa tidak berharga untuk berdekatan lebih lama dengan mereka yang disebut burung-burung Hong yang mulia.

“Kong-ko…..!” hampir berbareng mereka menyerukan nama ini dan mereka menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil termenung.

“Enci Bwe Hwa, agaknya dia…… dia telah mendengar percakapan kita di…..”

Bwe Hwa mengangguk.
“Kong-ko adalah seorang pemuda yang rendah hati sekali. Dari tulisannya itu kita tahu bahwa dia tidak mencinta kita, menganggap diri terlalu rendah untuk mencinta kita. Seperti pernah kukatakan, Lan-moi, cinta tidak dapat dipaksakan! Cinta tidak mungkin hanya terjadi sepihak saja. Sekarang bagaimana kehendakmu, Lan-moi?”

“Kita cari pedang Pek-lui-kiam enci Bwe Hwa.”

“Benar, kita mencari pedang pusaka itu dan siapapun yang mendapatkan harus diserahkannya kepada Kong-ko.”

“Ah, betapa mendalam rasa cintamu. Biarpun tidak mendapat sambutan engkau tetap memikirkan dia! Akan tetapi pendapatmu itu memang tepat. Aku telah mendengar dari Kong-ko bahwa dia mencari pedang itu untuk dikembalikan kepada seorang gadis bernama Tan Kiok Nio yang kini tinggal di kota Ci-bun.”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya.
“Pedang itu akan diserahkan kepada seorang gadis? Apakah gadis itu……” Ia tidak melanjutkan dan Hui Lan menjelaskan.

“Jangan mengira bahwa Kong-ko jatuh cinta kepada gadis itu, enci Bwe Hwa. gadis itu adalah puteri mendiang Tan Tiong Bu yang tadinya menjadi pemilik pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tan Tiong Bu tewas oleh seseorang dan ada dugaan bahwa pembunuhnya adalah Ang I Sianjin yang kemudian mencuri pedang pusaka itu. Nah, gadis itu minta pertolongan Kong-ko untuk mencari pembunuh ayahnya dan merampas kembali pedang pusaka milik mendiang ayahnya itu.”

Bwe Hwa mengangguk-angguk.
“Tidak mengherankan kalau begitu. Kong-ko memang memiliki watak yang budiman dan tangannya selalu terbuka untuk menolong siapa saja. Kalau begitu, sebaiknya kita berpisah, Lan-moi. Kita mendaki secara terpisah dan marilah kita berlumba untuk mendapatkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu. Siapa yang mendapatkannya tentu akan menyerahkannya kepada Kong-ko dan siapa tahu, hal itu akan melunakkan hatinya.”

Hui Lan tersenyum dan ia semakin yakin bahwa cinta Bwe Hwa terhadap Si Kong memang mendalam sekali. Ia hanya menghela napas dan berkata,

“Baiklah, mari kita mengambil jalan masing-masing. Aku tidak akan merasa menyesal kalau engkau yang akan dapat menguasai pedang itu.”

Setelah berkemas, kedua orang gadis itu lalu meninggalkan guha dan melanjutkan pendakian ke puncak dengan mengambil jalan terpisah.

**** 86 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar