Ads

Sabtu, 24 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 87

Si Kong berjalan seorang diri sambil termenung. Dia terpaksa meninggalkan dua orang gadis yang dikagumi dan disukanya setelah mendengar percakapan mereka. Dia mendengarkan itu tanpa disengaja. Setelah mandi, dia sudah memikirkan bahwa sebaiknya dia berpamit dari mereka dan mencari jalannya sendiri. Akan tetapi ketika dia mendekati guha, dia mendengar dua orang gadis itu bercakap-cakap mengenai dirinya. Dia menjadi bingung dan bersedih. Tak disangkanya dua orang gadis itu menaruh hati kepadanya.

Bagaimana mungkin dia menyambut cinta kasih seorang gadis seperti mereka yang menjadi puteri pendekar besar, serba kecukupan? Apalgi diperebutkan antara dua orang gadis yang dikaguminya itu. Dia merasa bahwa sebagai seorang kelana miskin dan yatim piatu seperti dia amat tidak sepadan kalau berpasangan dengan Hui Lan maupun Bwe Hwa. Dia mengeraskan hatinya dan mengambil keputusan untuk pergi begitu saja tanpa pamit. Akan tetapi untuk tidak membuat dua orang gadis itu penasaran, dia meninggalkan coretan-coretan di batu padas itu.

Dengan pikiran dipenuhi bayangan kedua orang gadis itu, Si Kong melanjutkan perjalanan. Niatnya hanya untuk menyelidiki pembunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas kembali pedang pusaka Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepada Tan Kiok Nio. Kenapa dia harus terlibat dalam urusan cinta dengan seorang diantara dua orang gadis itu?

Karena tidak ingin tersusul oleh dua orang gadis itu, Si Kong mengambil jalan ke barat melalui lereng-lereng perbukitan itu. Dia harus mencaki puncak melalui lereng sebelah barat agar tidak sampai bertemu dengan Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan tetapi, sambil melangkah ke depan, dia merasa betapa perasaan hatinya berat seperti terhimpit perasaan bersalah. Dua orang gadis itu dengan jujur mengatakan bahwa mereka mencintanya. Dan sekarang, dia pergi begitu saja tanpa memberi tahu. Hal ini tentu saja akan membuat mereka bersedih dan kecewa. Berulang kali dia bertanya kepada hatinya sendiri, gadis mana diantara keduanya itu yang dia cinta.

Jawaban hatinya membingungkannya. Dia kagum kepada keduanya dan merasa suka kepada keduanya. Apakah dia mencinta mereka? Mencinta seorang diantara mereka? Entahlah, dia jawab sendiri pertanyaan itu. Dia ragu dan bingung, tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dia tidak tahu dan belum mengenal apa itu yang disebut cinta. Dia memang suka kepada mereka, kagum kepada mereka karena mereka adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, gagah perkasa dan budiman, puteri dari pendekar-pendekar kenamaan.

Cinta asmara memang mendatangkan banyak macam akibat, dapat membahagiakan seseorang namun dapat pula menyengsarakan seseorang. Cinta asmara adalah cinta yang diboncengi nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan, memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai. Kalau semua keinginan ini dipenuhi maka hatinya mengaku cinta. Dilayani, dimanja, disukai, betapa menyenangkan semua itu.

Akan tetapi begitu muncul kenyataan lain, tidak lagi dilayani, tidak lagi dimanja, tidak lagi disenangi, maka cinta asmarapun terbang pergi seperti kabut terkena sinar matahari, dan cinta asmara berganti dengan kebencian. Kegagalan cinta asmara membuat seseorang menjadi kecewa, duka dan merasa sengsara sekali. Bagaimana kalau cinta asmara terpenuhi dan disambut dengan baik? tentu saja mendatangkan kesenangan besar yang dianggap sebagai bahagia. Akan tetapi betapa pendeknya usia kebahagiaan itu. Betapa rapuhnya hati yang mengaku cinta.

Si Kong belum pernah jatuh cinta, maka dia tidak dapat membedakan antara rasa suka dan rasa cinta. Rasa kagum dan suka tidak menuntut balasan, tidak ingin menguasai, memiliki atau ingin menyenangkan diri sendiri. Orang tidak akan pernah patah hati kalau rasa sukanya lenyap atau berubah, karena tidak merasa kehilangan. Rasa suka diantara sahabat tidak ingin memiliki, maka tidak akan merasa kehilangan.

Si Kong berhenti melangkah dan seluruh perhatiannya kini dipusatkan kepada mata dan telinganya. Dia mendengar langkah kaki yang datang dari jauh, akan tetapi derap langkah itu sudah terdengar dari situ, seolah yang datang mendekat adalah seekor gajah besar yang amat berat!

Setelah dekat, Si Kong memandang dengan heran dan kagum karena yang datang menghampirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang usianya lebih dari enampuluh tahun. Pakaiannya ringkas dan mewah, dan disabuknya terselip sebuah kantung dan tangan kirinya memegang sebuah kong-ce (tombak cagak), mukanya penuh brewok sehingga wajah itu nampak bengis.

Karena kakek itu menghampiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, Si Kong lalu mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat. Dia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi.

“Selamat siang, lo-cianpwe.”

Sepasang mata kakek itu mencorong mengamati Si Kong dari atas yang memakai caping lebar sampai ke kaki yang mengenakan sepatu butut dan pakaiannya yang sederhana.

“Hemm, siapa engkau?” tanya kakek itu penuh kecurigaan.






“Namaku Si Kong, locianpwe.”

“Engkau anggauta Kui-jiauw-pang?”

“Bukan, locianpwe.”

“Hemm, kalau bukan anggauta Kui-jiauw-pang, lalu mengapa engkau berada disini?”

“Aku…. aku tidak inginkan sesuatu….”

Jawab Si Kong dengan gugup karena dia meragu apakah dia harus berterus terang atau tidak.

“Hemm, engkau datang ke Kui-liong-san untuk mencari Pek-lui-kiam, bukan?”

Semua orang yang datang kesini mencari dan hendak memperebutkanPek-lui-kiam, maka diapun menjawab sejujurnya.

“Benar, locianpwe, namun aku tidak yakin apakah aku mampu….”

“Kalahkan aku dulu kalau engkau mau memperebutkan Pek-lui-kiam disini!”

Kakek itu menggerakkan tangan kanannya, memukul ke arah dada Si Kong dengan cepat dan kuat sekali. Tahu-tahu tangannya yang kanan telah hampir mengenai dada Si Kong. Hawa pukulan yang dahsyat sudah terasa oleh pemuda itu. Dia cepat melangkah mundur selangkah lalu mendorong pula dengan tangan kanan untuk menyambut pukulan lawan itu. Untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi dan satu-satunya jalan untuk menangkis pukulan yang dipenuhi tenaga sinkang itu hanyalah menyambutnya dengan tangan juga.

“Wuuuuutttt…… dessss!”

Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Si Kong terhuyung mundur lima langkah. Akan tetapi kakek itu juga terhuyung mundur lima langkah.

Si Kong merasa betapa dadanya sesak dan tahulah dia bahwa kakek itu menggunakan sinkang yang amat kuat sehingga pertemuan tangan itu membuat isi dadanya terguncang. Maklum bahwa dia menghadapi lawan tangguh yang berbahaya, Si Kong tidak ingin melanjutkan perkelahian tanpa sebab yang kuat itu. Maka diapun lalu melompat dari situ dan pergi melanjutkan perjalanannya. Kakek itu agaknya juga maklum bahwa pemuda itu seorang yang tangguh sekali, maka diapun tidak melakukan pengejaran.

Siapakah kakek tinggi kurus brewok yang amat tangguh ini? Kalau Si Kong mendengar nama julukan kakek itu, tentu dia tahu dengan orang macam apa dia berhadapan. Kakek itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk besar dari timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Timur)!

Seperti para datuk yang lain, dia mendaki Kui-liong-san dengan dua tujuan. Pertama, memenuhi undangan Toa Ok dan Ji Ok yang hendak menentukan siapa diantara para datuk besar yang patut dipilih sebagai datuk nomor satu di dunia. Dan kedua, tentu saja, untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dengan Si Kong, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang diantara orang kangouw yang hendak memperebutkan pedang pusaka. Setiap orang yang hendak memperebutkan pedang itu dianggapnya sebagai musuh yang patut di bunuh untuk mengurangi jumlah saingan.

Maka dia lalu menyerang dengan pukulan maut, dan dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja pemuda itu tentu akan mati! Pukulannya itu mengandung tenaga sinkang yang panas dan amat kuat, dilakukan dengan penuh tenaga karena dia bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul.

Akan tetapi dia menjadi terkejut setengah mati ketika pemuda itu menyambut dorongannya dengan telapak tangan pula dan ketika kedua tangan bertemu, dia terdorong ke belakang sampai lima langkah! Dan diapun merasa betapa isi perutnya terguncang dan cepat dia mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi perutnya agar jangan terluka dalam. Maka diapun sama sekali tidak mengejar ketika pemuda itu lari dari situ.

Sementara itu, Si Kong merasa heran dengan munculnya kakek sakti itu dan dia tahu bahwa memperebutkan pedang Pek-lui-kiam sungguh merupakan pekerjaan yang amat sulit dengan adanya orang-orang sakti di tempat itu.

Dia berjalan dengan hati-hati karena maklum bahwa perjalanan itu berbahaya, terdapat banyak jurang dan siapa tahu disitu terdapat pula perangkap dan jebakan yang dipasang oleh orang-orang Kui-jiauw-pang.

Selagi dia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dia mendengar seruan orang dari belakang. Dia menengok dan melihat seorang kakek lari mengejarnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Tadinya Si Kong mengira bahwa kakek tadi yang mengejarnya. Dia bersiap untuk lari lebih cepat, akan tetapi ketika dia melihat bahwa kakek yang mengejarnya itu adalah seorang kakek yang bertubuh sedang, tidak memegang tombak cagak seperti tadi, dia merasa lega dan menanti dengan siap siaga.

Kakek itu mempergunakan ginkang yang hebat sehingga sebentar saja sudah tiba di depan Si Kong. Si Kong memandang penuh perhatian. Kakek inipun sudah berusia enampuluh tahun lebih. Tubunya sedang dan tegap. Alisnya tebal dan matanya mencorong membuat wajah yang tampan itu nampak berwibawa. Dipunggungnya terselip sebatang pedang dan dipinggangnya terdapat belasan batang anak panah kecil.

Melihat panah itu, Si Kong terkejut karena dia teringat akan anak panah tangan yang biasa dipergunakan oleh Cu Yin! Dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah datuk besar selatan yang berjuluk Lam Tok! Si Kong tidak mencari permusuhan, apalagi dengan Lam Tok ayah dari Cu Yin yang pernah menjadi sahabat baiknya. Datuk besar ini tentu lihai sekali, dan keadaannya sendiri belum pulih dari guncangan akibat beradu tenaga dengan kakek tinggi kurus yang amat lihai. Maka kalau dipaksa harus bertanding melawan Lam Tok, lebih baik dia menghindarkan diri.

Ketika bertemu kakek pertama, dia menegur lebih dulu, akan tetapi akibatnya, dia diserang secara hebat sekali. Siapa tahu Lam Tok juga akan menyerangnya kalau kakek ini mengira dia hendak memperebutkanPek-lui-kiam. Watak para datuk besar ini amat aneh. Kalau mereka hendak menguasai Pek-lui-kiam, maka setiap orang yang bermaksud memperebutkan Pek-lui-kiam tentu dianggap musuh yang harus dibunuh!

Setelah berpikir demikian, Si Kong merasa lebih baik menjauhkan diri dari perkelahian dengan kakek itu. Tidak ada gunanya melayani para datuk yang suka berkelahi tanpa sebab. Berbeda kalau andaikata dia sudah mendapatkan Pek-lui-kiam, tentu dia akan menghadapi siapapun yang hendak merampas dari tangannya.

“Hei, orang muda. Tunggu dulu!”

Lam Tok berteriak sambil meloncat dan mengejar. Akan tetapi Si Kong menggunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar. Lam Tok merasa heran dan penasaran tidak dapat mengejar pemuda itu, akan tetapi dia tidak mengejar terus karena diapun harus berhati-hati berada di pegunungan yang asing baginya itu.

Setelah merasa yakin bahwa dia tidak dikejar lagi, barulah Si Kong menghentikan larinya dan menyelinap di balik semak belukar untuk mengaso. Dia menanti sampai lama akan tetapi tidak ada yang mengejarnya. Legalah hatinya dan kini tenaganya juga sudah pulih kembali karena selama menanti itu dia bersamadhi mengumpulkan hawa murni untuk menghilangkan bekas pertemuan tenaganya dan tenaga kakek tinggi kurus brewok yang lihai itu. Matahari telah naik tinggi dan Si Kong melanjutkan perjalanannya mendaki puncak, menyelinap diantara pohon-pohon dan semak belukar.

**** 87 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar