Ads

Senin, 19 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 78

Gin Ciong mengangguk dan mereka berdua kini menanti dan mengintai dengan hati tegang. Apalagi ketika mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka dan berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.

“Ayahmu terancam bahaya.” Bisik Gin Ciong.

Cu Yin tersenyum mengejek.
“Bukan ayah, melainkan sepuluh orang itu yang akan mampus!”

Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggauta Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas.

Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin menyentuh tangannya dan ketika dia menengok Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong cepat memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak maupun menangkis!

“Tuk-tuk-tuk….!” terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Tok dan senjata rahasia itupun runtuh seakan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali.

Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata memiliki kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Akan tetapi dia lalu teringat akan julukan datuk itu. Lam tok (Racun Selatan) dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun.

Para anggauta Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka lalu berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian tubuh sebelah belakang datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung.

Tiba-tiba datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya di gerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat dan dari kedua tangannya menyambar empat batang panah tangan. Terdengar teriakan keras ketika empat orang diantara para penyerbu itu terpelanting roboh dan tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan.

Enam orang yang lain terkejut dan marah sekali. Mereka terus menubruk ke depan dengan nekat.

“Hemmm…..!”

Kakek itu mengeluarkan gerengan dan tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila. Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur!

Enam orang anggauta Kui-jiauw-pang itu berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, demikian mereka roboh bergulingan saking nyerinya.

Kiranya tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, akan tetapi juga telah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Tewaslah sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan.

Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar dimana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengar suaranya yang galak.

“Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat kalau kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!”

Gin Ciong terkejut dan jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya,

“Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku.”

Gadis itu lalu meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Ia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.






“Ayah….!!”

Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali.

“Hemm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi disana? Dan siapa pula pemuda itu?”

Dia menudingkan ke arah Gin Ciong yang sudah mengangkat kedua tangan depan dada sambil memberi hormat dengan membungkukkan badannya.

“Dia kenalanku yang baru, ayah. Kami melakukan perjalanan ke Kui-liong-san ini untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Engkau tentu tidak dapat menebak siapakah pemuda ini!”

Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula.

“Ayah, aku ingin menguji kecerdikan ayah. Coba ayah menebak siapa pemuda ini, kalau dapat menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi kalau tidak dapat menebak, ayah harus merampas Pek-lui-kiam untukku!”

Lam Tok menggumam,
“Hemmmm, apa sukarnya?”

Tiba-tiba tubuhnya yang tadi duduk bersila diatas batu, telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.

“Sambutlah!” serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar kearah muka Gin Ciong.

Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar sehingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda ini sejak kecil sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, dia memiliki gerakan cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.

“Locianpwe….. apa kesalahanku…..!” dia menegur.

“Tidak usah banyak cakap. Sambulah ini….!”

Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.

Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh, seperti juga ayahnya. Aneh, tidak perduli dan dapat pula bersikap kejam sekali seperti yang diperlihatkan Lam Tok ini terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.

“Ayah tidak boleh membunuhnya. Kalau ayah membunuh atau melukai, berarti ayah kalah bertaruh!”

Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak semakin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu lalu mengeluarkan suara memekik nyaring dan dia mengubah ilmu silatnya. Ilmu silat yang dimainkan itu sungguh dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia telah memainkan ilmu silat simpanannya yaitu Giam-ong Sin-kun (Ilat Sakti Raja Maut) dan pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!

“Dukk! Dess….!”

Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalu bertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!”

Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi untuk menyenangkan hati ayahnya, ia pura-pura mengejek,

“Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau ayah sudah mengetahuinya?”

“Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!”

“Ayah ngawur! Bagaimana ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!” kata puterinya.

“Hemm, anak nakal. Apa kau kira engkau sendiri yang cerdik dan banyak akal? Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya dan pemuda ini mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat Tung-giam-ong.”

“Akan tetapi, setiap orang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?”

“Ketika dia memainkan Hek-wan-kun silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia mampu bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu.”

Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa amat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan ia bertanya kepada ayahnya.

“Aku kalah, dan ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!”

Lam Tok terawa dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Tio Gin Ciong,
“Siapa namamu?”

“Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe.”

“Mana ayahmu? Apakah dia belum datang?”

Gin Ciong menjadi bingung.
“Saya…. saya tidak tahu kalau ayah akan datang kesini.”

“Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!”

Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya.

“Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?”

Pertanyaan itu seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah dia mencinta Cu Yin, tentu akan dijawabnya seketika dengan anggukan kepala!

“Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!” kata Cu Yin pura-pura marah.

“Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan tidak dapat dipercaya janjinya? Engkau telah kalah bertaruh denganku dan menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, engkau sudah membantah dan tidak segera menjawab!”

“Ayah, aku hendak menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!”

Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Ia tahu benar akan watak ayahnya yang tidak pernah mundur menghadapi tantangan apapun dan dari siapapun juga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar