Ads

Senin, 19 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 77

“Semua gara-gara Pek-lui-kiam. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu, Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap.”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya.
“Akan tetapi kenapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?” tanyanya.

Sam Pangcu menghela napas panjang.
“Antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang besar. Juga pedang Pek-lui-kiam itu dia gunakan untuk membunuh keluargaku. Maka, aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam, baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu.”

“Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?” tanya pula Bwe Hwa.

“Sekarang juga akan kami serahkan kalalu lihiap berjanji akan membantu kami menghdapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami.”

Kesangsian Bwe Hwa lenyap.
“Kalau begitu, aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang.”

“Ha-ha-ha, agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, akan tetapi sebaliknya kami telah percaya sepenuhnya kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dulu? Baik, kami akan serahkan sekarang juga!”

Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.

“Terimalah Pek-lui-kiam ini, lihiap!”

Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Ia menerima pedang itu. Akan tetapi ia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru ia akan percaya. Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu indah sekali dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri.

“Pek-lui-kiam…..!”

Gadis itu berseru girang. Ia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka ia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu.

“Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir kalau ada orang berani datang kesini untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu akan senang membantu, bukan?”

Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa bergembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu.

“Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal disini selama satu bulan dan selama itu kita berdua akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan? Terlalu lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, iapun merasa tidak enak kalau menolak.

Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Demikian pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa.

Biarpun pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan ia memperingatkan Leng Kun pada malam itu sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.

“Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak.”






“Aih, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?”

“Siapa lagi, tentu pimpinan Kui-jiauw-pang.”

“Ah, kenapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi? Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkannya kepadamu. Aku sudah percaya sepenuhnya kepada tiga orang ketua itu, Hwa-moi.”

“Syukurlah kalau benar mereka baik kepada kita. Akan tetapi bagaimanapun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?”

“Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Mereka telah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?”

“Maksudku bukan mencurigai siapapun, hanya kita harus tetap waspada dan hati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja.”

“Baik, Hwa-moi, selamat tidur.”

Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Ia tidak menyadari bahwa yang dikhawatirkannya itu bahkan datang dari orang yang paling dipercayanya saat itu.

Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Bulan menebarkan cahayanya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah namun penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu bahkan membuat tempat itu menjadi seram dan mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan. Demikian pula keadaan disekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu.

Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah dibawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia melangkah ke depan memasuki hutan itu.

Gerakan inilah yang menghentikan suara jengkerik dan belalang itu. Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri diwaktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada didekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enampuluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, akan tetapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang.

Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca diatas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendah seperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu.

Kakek ini tidak tahu kalau dibelakangnya, dibalik semak belukar, terdapat dua orang yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-semak.

“Wah, itu ayahku….!” bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari Timur).

Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan.

Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam ditempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu. Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah manapun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya mempergunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itu, mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin segera mengenal ayahnya.

Tio Gin Ciong adalah puteri datuk besar dari timur, akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, diapun merasa jerih. Dia melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.

“Ssttt….. itu disana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu…..”

Siangkoan Cu Yin mengangguk dan diapun melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang di duduki ayahnya. Ia juga tidak tergesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat ia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari.

Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggauta Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang berani memasuki tempat itu, lima orang anggauta Kui-jiauw-pang ini mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat kakek itu dengan baik. Maka mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan dilakukan orang itu kalau malam sudah berganti pagi.

Melihat lima orang tidak hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apapun, Gin Ciong berbisik.

“Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga.”

Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Ia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam ia berpikir mengapa ayahnya berada ditempat itu. Ia yakin bahwa ayahnya tentu telah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau ia dan Gin Ciong, tentu belum diketahui ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicarapun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu.

Sambil merebahkan dirinya, Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya dan ia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerak-gerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya. Ia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena ia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi oleh bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin ia dapat mencinta pria lain. Di manakah kini Si Kong berada? Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau ia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kui-liong-san. Sebetulnya inilah yang menariknya dan mau pergi ke Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong!

Malam yang indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin telah bangun dari tidurnya. Ia mendapatkan Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang samadhi. Dia menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.

“Dapat tidur nyenyak?” tanya Gin Ciong.

Cu Yin menganguk.
“Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?”

“Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya sedang tenggelam dalam samadhinya.”

Cu Yin memandang ke arah ayahnya. Jarak diantara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikitpun tidak bergerak seperti orang tidur.

“Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ketempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia sendiri hendak turun tangan merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?”

“Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar.”

“Aku yakin ayahku telah melihat mereka atau telah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar