Ads

Senin, 19 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 76

Pemimpin regu memberi aba-aba dan limabelas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor srigala mengepung seekor domba. Akan tetapi setelah mereka bergerak, yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, melainkan seekor harimau betina dan tangguh sekali.

Ketika mereka menyerbu untuk menangkap gadis itu, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya.

Belasan oran itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa sebagai seorang gadis cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tidak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah empat orang dibuat roboh oleh Bwe Hwa. Barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru,

“Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!”

Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran.
“Mengapa, Kun-ko? Mereka ini hendak menangkap aku!”

“Hwa-moi, mereka ini adalah para anggauta Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap kau maafkan mereka yang tidak tahu ini.” Dia lalu menoleh kepada para anggauta Kui-jiauw-pang sambil membentak, “Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap yang gagah perkasa ini!”

Limabelas orang itu lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata,

“Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!”

Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Setelah belasan orang itu pergi, ia bertanya kepada Leng Kun.

“kun-ko apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau nampaknya berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?”

“Tentu engkau menjadi heran, Hwa-moi. Aku sendiripun sama sekali tidak menyangka akan mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika aku mendaki, akupun bertemu dengan belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang dan aku dikeroyok. Aku dapat mengalahkan mereka dan muncullah seorang diantara tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia mengenal ilmu silatku dan menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kui-jiauwpang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa diantara sahabat pedang itu tidak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Marilah kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Aku telah menceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerimamu sebagai sahabat pula.”

Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apabila pedang berada di tangan seorang jahat, ia harus merampasnya. Akan tetapi apabila pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, ia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari tangan orang jahat. Ia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi ia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat!

“Kun-ko, bukankah Kui-jiauw-pang itu perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?”

“Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir dan rumah judi, darimana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka kitapun sepantasnya bersikap baik kepada mereka. Maka soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka.”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Ia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja? Akan tetapi ia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya.

“Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka.” kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali.






“Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain.” kata Leng Kun dan mereka lalu mendaki puncak bukit Kui-liong-san.

Ia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup diantara pohon dan semak.

“Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?” tanya Bwe Hwa ketika mereka menyusup diantara semak berduri.

“Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman.”

Bwe Hwa menjadi semakin heran.
“Kenapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko? Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?”

“Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka.”

Mereka maju dengan cepat karena mereka menggunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang, Bwe Hwa melihat belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat.

Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang. Ketika mereka memasuki ruangan besar disebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar.

“Selamat datang, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-lihiap!” kata Sam Pangcu.

Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang membunuh pendekar Tan tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kui-jiauw-pang.

Iapun memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam ia terkejut melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itupun sambil tersenyum mengenalkan diri. Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali dan tubuhnya gendut mengaku sebagai Toa Pangcu. Adapun orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet.

Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju ketiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah.

Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab.

“Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menyambut kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu.”

“Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!” kata Toa Pangcu.

“Pek-lihiap, mari silakan duduk!” kata Ji Pangcu sambil tersenyum.

Melihat keramahan tiga orang ketua itu, Bwe Hwa merasa senang. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu yang duduk sambil mempersilakan Leng Kun.

Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan dan minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan.

Melihat ini, tahulah Bwe Hwa bahwa ia akan dijamu makanan, maka ia mengerutkan alisnya dan menolak.

“Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada disini, dan jangan merepotkan sam-wi.”

“Aah, mana bisa begitu, lihiap? Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Setelah makan minum, barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini.” kata Toa Pangcu.

Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa, memandang kepada gadis itu dan berkata lirih,

“Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, tidak enak kalau kita menolak hidangan mereka.”

Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata,
“Kedatangan kami merepotkan sam-wi saja.”

Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Setelah melihat pihak tuan rumah makan, barulah ia berani mengambil hidangan dan makan. Ia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai ia tertipu dan keracunan.

Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.

“Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebetulnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?”

Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan iapun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di depannya.

“Begini, sam-wi pangcu. Telah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga medengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu.”

Setelah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatap wajah ketiga orang ketua.

“Hemm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?” tanya Sam Pangcu.

“Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh terjatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, ketika pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan akupun tidak akan mengganggunya. Akan tetapi, Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, setelah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang kesini untuk menyelidiki kebenaran berita itu.” Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu.

“Ha-ha-ha-ha!” Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan kepala yang besar itu digeleng-gelengkannya. “Tidak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami. Kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apalagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami diwaktu dulu. Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang.”

Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, dan pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu.

“Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar