Ads

Sabtu, 24 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 90

Si Kong berindap-indap mendekati suara orang berbantahan itu. Dari balik sebatang pohon besar dia mengintai. Jantungnya berdebar ketika dia melihat dua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dengan wajah tak senang, bahkan marah. Dia mengenal kedua orang kakek itu yang bukan lain adalah Lam Tok dan Tung-giam-ong! Datuk besar selatan dan datuk besar timur itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago sedang berlagak.

“Lam Tok!” seru Tung-giam-ong sambil menudingkan telunjuknya kearah muka datuk besar selatan itu. “Kedatangan kita kesini bukan saja untuk menentukan siapa yang terkuat diantara para datuk empat penjuru, juga untuk memperebutkan Pek-lui-kiam! Nah, sekarang kebetulan kita saling bertemu disini, maka kita tentukan siapa diantara kita yang lebih berhak memiliki Pek-lui-kiam!”

“Ha-ha-ha, bagus sekali, Tung Giam Ong!” jawab Lam Tok dengan suara menyindir dan mengejek. “Apa kaukira aku gentar menghadapi tua bangka macam engkau? Memang sebaiknya kita tentukan dari sekarang agar kita tidak menghadapi terlalu banyak saingan!”

“Lam Tok, pukulan beracunmu tidak akan meruntuhkan selembar rambutku! Dan engkau tidak akan dapat menahan pukulan dari Thai-yang Sin-ciang!”

“Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa engkau menyempurnakan pukulan dari tanganmu yang panas, akan tetapi ilmumu itu bagiku seperti permainan kanak-kanak saja! Majulah kalau ingin kuhajar!”

“Lam Tok, sombong sekali engkau. Bersiaplah untuk mampus di tanganku hari ini!”

“Ha-ha-ha, selain tidak mungkin engkau dapat mengalahkan aku, juga kalau engkau sampai dapat membunuhku, berarti engkau membunuh puteramu sendiri!”

“Apa maksudmu?” Tung Giam Ong memandang dengan heran dan kaget.

“Maksudku puteramu jatuh cinta dan tergila-gila kepada puteriku! Kalau engkau membunuhku, apa kau kira puteriku sudi berdekatan dengan puteramu? Ia bahkan akan membalas dendam kepadamu!”

Ucapan ini benar-benar mengejutkan hati Tung Giam Ong.
“Puteraku Gin Ciong jatuh cinta kepada puterimu? Apa buktinya?”

“Ha-ha, buktinya? Belum lama ini aku bertemu dengan mereka berdua di pegunungan ini. Puteramu bahkan hendak membantu puteriku untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Lucunya, puteramu itu sungguh tidak tahu malu! Dia tergila-gila kepada puteriku padahal puteriku itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang pemuda lain! Ha-ha, sungguh lucu. Anaknya dan bapaknya sama bodohnya!”

“Keparat!”

Tung Giam Ong marah dan menerjang dengan pukulannya yang ampuh, yang disebut Thai-yang Sin-ciang yang berhawa panas. Akan tetapi dengan mudah dielakkan oleh Lam Tok yang membalas dengan serangannya Lam-hai-sin-ciang (Tangan Sakti Lautan Selatan) yang datangnya seperti gelombang lautan. Akan tetapi Tung Giam Ong juga dapat menghindarkan diri dengan mudah.

Si Kong yang menonton pertandingan itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa kedua orang kakek itu menggunakan ilmu-ilmu pukulan yang amat ampuh dan dapat mematikan. Kakek itu memperebutkan Pek-lui-kiam dengan taruhan nyawa. Mengingat bahwa Lam Tok adalah ayah kandung Cu Yin, Si Kong merasa tidak tega kalau kakek itu terancam bahaya maut. Maka selagi kedua orang kakek itu bertanding hebat, Si Kong melompat ke tengah-tengah diantara mereka dan mendorong ke kanan kiri.

Dua orang kakek itu terkejut sekali ketika merasakan betapa dari dorongan itu terkandung tenaga dahsyat yang membuat mereka mundur dan menahan gerakan berikutnya.

“Ji-wi locianpwe, harap jangan berkelahi. Pek-lui-kiam yang ji-wi perebutkan berada ditangan ketua Kui-jiauw-pang!”

Dua orang kakek itu mengamati wajah Si Kong dan Tung Giam Ong mengenalnya sebagai pemuda yang dapat menahan pukulan saktinya.

“Kiranya engkau, bocah setan!” bentaknya.






“Hemm, orang muda, mengapa engkau melerai pertandingan kami? Siapa engkau?” tanya Lam Tok sambil mengamati wajah pemuda itu penuh selidik.

“Saya berani melerai karena yang ji-wi perebutkan itu berada ditangan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Jadi tidak ada gunanya berkelahi memperebutkan pedang yang berada ditangan orang lain. Merugikan saja.”

“Siapa namamu?” LamTokmengulang.

Si Kong memberi hormat kepada kakek ini dan menjawab,
“Nama saya Si Kong ….”

“Jahanam! Jadi engkau yang telah menghina nama keluargaku?” bentak Lam Tok marah sekali.

“Apa maksud locianpwe?” tanya Si Kong kaget karena dia sama sekali tidak merasa pernah melakukan penghinaan terhadap keluarga datuk ini.

“Hemm, maksudku sudah jelas! Engkau berani menolak cinta anakku Cu Yin, bukankah itu penghinaan namanya? Karena itu engkau sekarang harus mati di tanganku!”

Setelah berkata demikian, Lam Tok segera menerjang Si Kong dengan pukulan maut sambil mengerahkan tenaga Jeng-kin-lat (Tenaga Seribu Kati)!

“Eh, nanti dulu, locianpwe!” kata Si Kong sambil mengelak ke belakang.

“Jadi engkaukah pemuda yang menghalangi cinta puteraku terhadap puteri Lam Tok? Memang engkau harus mampus!”

Tung Giam Ong juga berseru sambil menyerang Si Kong dari samping, menggunakan pukulan maut dari ilmu Thai-yang Sin-ciang. Akan tetapi Si Kong juga dapat mengelak dan pemuda ini merasa bingung sekali diserang oleh dua orang datuk yang sakti itu!

Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya, maka diapun menggunakan Yan-cu Hui-kun untuk mengelak dari serangan berganda itu. Untuk melarikan diri sudah tidak ada kesempatan lagi karena dua orang datuk itu sudah menyerangnya secara bertubi. Terpaksa dia mengelak dan menangkis sambil mencoba untuk balas menyerang untuk membendung hujan serangan itu.

Dua orang datuk besar itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka berdua telah menyerang sampai belasan jurus dan pemuda itu masih belum dapat mereka robohkan. Karena penasaran, dua orang datuk itu lalu berdiri sejajar dan berbareng menyerang dengan pukulan masing-masing yang amat kuatnya.

Tung Giam Ong menyerang dengan ilmu Thai-yang Sin-ciang yang amat panas sedangkan Lam Tok menyerang dengan ilmu Eng-jiauw-kang (Tenaga Cakar Garuda) yang selain amat kuat juga mengandung racun yang berbahaya. Kulit lawan yang terkena cakaran ini sedikit saja sudah cukup untuk membunuhnya. Darahnya akan keracunan.

Melihat dua pukulan ini Si Kong menyadari bahwa nyawanya terancam bahaya maut. Terpaksa dia harus mengeluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu Hok-liang Sin-ciang. Karena untuk mengelak atau menangkis dua serangan itu amat berbahaya, tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan keras sama keras. Dia berdiri hampir berjongkok, kedua tangannya di dorongkan ke depan menyambut dua serangan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.

“Wuuuutt…. dessss……!!”

Dua tenaga dahsyat itu saling bertemu dan akibatnya tubuh Si Kong terjengkang lalu bergulingan, akan tetapi dua orang kakek itupun terhuyung-huyung kebelakang. Dua orang datuk itu mengira bahwa Si Kong terluka berat, padahal pemuda itu sengaja menggulingkan tubuhnya untuk memunahkan tenaga pukulan yang melanda dirinya.

Lam Tok yang melihat Si Kong bergulingan, cepat menggerakkan tangan kirinya kearah pinggang. Dicabutnya tiga batang anak panah dan disambitkan dengan sepenuh tenaga ke arah tubuh Si Kong yang bergulingan.

“Ayah, jangan…..!!”

Terdengar pekik melengking dan sesosok bayangan berkelebat menghadang antara Si Kong dan Lam Tok. Bayangan itu bagaikan perisai yang melindungi Si Kong dan tiga batang anak panah itu dengan telak menancap di dadanya dan bayangan itu roboh!

“Yin-moi…..!!”

Si Kong berteriak sambil menubruk gadis yang roboh itu. Gadis itu memang Cu Yin. Baru saja ia muncul disitu bersama Gin Ciong dan pada saat Lam Tok menyambitkan anak panahnya, Cu Yin mengetahui bahwa nyawa Si Kong berada dalam bahaya maut. Maka tanpa memperdulikan dirinya, gadis itu lalu menghadang dan menjadi perisai, terkena tiga batang anak panah beracun itu.

Si Kong menubruk dan memangku kepala gadis itu, sambil mengguncang pundaknya.
“Yin-moi…., Cu Yin…..!”

Si Kong meratap dan baru sadarlah dia betapa sesungguhnya di lubuk hatinya terdapat perasaan kasih sayang yang besar terhadap Cu Yin.

“Yin-moi….. ah, Yin-moi…..!”

Si Kong mendekap kepala itu. Sekali melihat saja maklumlah dia bahwa tidak dapat tertolong lagi. Tiga batang anak panah itu menancap sampai amblas seluruhnya di dadanya dan seketika tubuh Cu Yin sudah berubah biru kehitaman yang berarti bahwa ia telah keracunan. Cu Yin membuka matanya dan ia tersenyum mendapatkan kenyataan bahwa ia dipangku oleh Si Kong. Ia mengangkat tangan kirinya, mengelus pipi Si Kong.

“Kong-ko…. ah, Kong-ko, aku….. girang melihat…. engkau selamat…..”

“Yin-moi, kenapa kau lakukan ini? Kenapa engkau mengorbankan nyawamu untukku?”

Si Kong menunduk dan menciumi muka gadis itu dengan hati hancur. Tak terasa lagi air matanya jatuh berderai membasahi muka Cu Yin.

“Koko….. aku girang… dapat… melakukan sesuatu…. untukmu…… aku……. aku cinta padamu, koko……”

“Cu Yin…..! Jangan mati, Cu Yin, akupun cinta padamu!” Si Kong menangis.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar