Ads

Sabtu, 24 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 89

Bwe Hwa berjalan seorang diri sambil berpikir tentang pengalamannya yang baru terjadi tadi. Kalau diingat kembali, timbul rasa malu dan penyesalan di dalam hatinya. Jelas bahwa ia telah jatuh cinta kepada Si Kong. Akan tetapi pantaskah kalau ia seperti memaksakan cintanya itu agar dibalas oleh Si Kong? Dan ia merasa begitu cemburu kepada Hui Lan! Kalau Si Kong mencintai Hui Lan, pantaskah kalau ia mencampuri dan hendak menghalangi? Berpikir tentang pemuda yang dicintanya itu, ia teringat akan sajak yang ditinggalkan Si Kong untuk ia dan Hui Lan. Tak mungkin ia melupakan sajak itu, seolah telah terukir bukan di tanah padas, melainkan di dalam hatinya. Mulut dara ini berkemak-kemik membaca sajak itu.

“Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tidak terikat apapun juga!”

Bwe Hwa menghela napas panjang dan berkata seorang diri dalam bisikan lirih.
“Seekor burung gagak yang papa? Aih, Kong-ko, betapa engkau telah merendahkan diri sedemikian rupa sehingga merasa tidak pantas berdekatan dengan kami.”

Ia lalu membayangkan keadaan pemuda itu sehingga pemuda itu begitu merendahkan dirinya. Si Kong seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, murid mendiang Ceng Lojin. Tidak, Si Kong bukan merendahkan diri karena kepandaian. Kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya atau kepandaian Hui Lan. Akan tetapi dia seorang yatim piatu, tidak bersanak kadang, tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan tempat tinggalpun dia tidak punya. Inilah kiranya yang membuat pemuda itu merasa kehilangan harga diri dan begitu merendahkan diri.

Kemudian ia teringat akan Hui Lan. Sudah jelas bahwa Hui Lan mencintai Si Kong, dan apakah Si Kong juga mencintai Hui Lan? Sangat boleh jadi demikian, mengingat bahwa Si Kong mau melakukan perjalanan bersama gadis itu. Akan tetapi tulisan sajak dari Si Kong itu menunjukkan lain. Pemuda itu agaknya tidak mencintai mereka berdua dan menganggap dirinya tidak pantas bersanding dengan Hui Lan atau ia!

Bwe Hwa yang sedang melamun itu tiba-tiba terkejut ketika dua orang laki-laki muncul di depannya. Yang muncul itu adalah seorang pemuda dan seorang yang lebih tua berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tentu anggota Kui-jiaw-pang atau Pek-lian-pai, pikirnya.

Tanpa banyak cakap lagi karena dua orang itu tentu hendak menangkapnya dan khawatir kalau yang lain-lain akan segera muncul, Bwe Hwa mencabut Kwan-im-kiam dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerang mereka dengan dahsyat.

Pedangnya berkelebat, membacok leher pemuda itu dan ketika pemuda itu mengelak dengan loncatan ke belakang, pedangnya terus menusuk ke arah dada orang yang lebih tua. Akan tetapi orang itupun dapat mengelak dengan cepat. Melihat gerakan mereka, tahulah Bwe Hwa bahwa dua orang itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

“Hei, tahan dulu!” bentak orang yang lebih tua. “Kenapa engkau menyerang kami, nona?”

Mendengar seruan ini, Bwe Hwa menahan gerakannya dan melintangkan pedangnya didepan dada. Jari telunjuknya yang kiri menuding ke arah mereka.

“Kalian tentulah kaki tangan Kui-jiauw-pang! Bersiaplah untuk mati!” bentaknya dan iapun meloncat ke depan, menerjang dengan cepat dan kuat.

Akan tetapi kembali kedua orang itu dapat mengelak dengan lompatan ke belakang.
“Tahan dulu nona! Kami sama sekali bukan kaki tangan Kui-jiauw-pang!” kata pria setengah tua itu.

Mendengar ini, Bwe Hwa mengerutkan alisnya tanpa menyimpan pedangnya karena ia masih curiga.

“Kalau kalian bukan kaki tangan Kui-jiauw-pang, lalu siapakah kalian dan mengapa berkeliaran disini?” tanyanya sambil mengelebatkan pedangnya.






Yang muda kini mengamati pedang di tangan Bwe Hwa dan dia berseru,
“Bukankah itu Kwan-im-kiam yang kau pegang, nona?”

Kini Bwe Hwa yang terkejut dan ia memandang penuh selidik kepada pemuda itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun dan berwajah tampan dan gagah.

“Bagaimana engkau dapat mengenal pedangku?” tanya Bwe Hwa, semakin curiga.

Pemuda itu memandang Bwe Hwa dengan penuh perhatian, lalu dia berkata,
“Bukankah engkau nona Pek Bwe Hwa?”

Bwe Hwa terkejut dan heran, akan tetapi semakin curiga dan menduga bahwa pemuda ini tentu ada hubungannya dengan Kui-jiauw-pang maka mengerti namanya dan mengenal pedangnya.

“Siapakah engkau?” tanyanya.

“Aku bernama Cang Hok Thian, datang dari kota raja.” Pemuda itu memperkenalkan dirinya.

Bwe Hwa teringat. Nama keluarga Cang itu adalah keluarga Pangeran Cang Sun. Ayahnya pernah bercerita bahwa Pangeran Cang Sun dikenalnya dengan baik dan pangeran itu telah menikah dengan dua orang wanita. Yang seorang bernama Mayang dan yang kedua bernamaTeng Cin Nio.

“Apakah ayahmu bernama Cang Sun?” tanyanya.

Wajah yang tampan itu berseri.
“Benar sekali, nona. Aku adalah puteranya. Kita tidak pernah saling bertemu akan tetapi telah diceritakan oleh orang tua kita, bukan?”

“Mengapa engkau dari kota raja datang ke tempat ini? Apakah engkau juga ingin memperebutkan Pek-lui-kiam?”

“Tidak, aku datang untuk ikut paman Gui Tin ini. Perkenalkan, ini adalah paman Gui Tin, seorang panglima kota raja yang menyamar sebagai petani biasa untuk menyelidiki tentang Kui-jiauw-pang.”

Bwe Hwa terkejut dan memandang kepada orang tua gagah itu dengan pandang mata penuh selidik.

“Seorang panglima? Apakah yang hendak paman lakukan disini?”

“Terdapat desas-desus bahwa Kui-jiauw-pang bersekutu dengan Pek-lian-pai untuk melakukan pemberontakan, bahkan mereka telah berhasil menghasut Gubernur Ce-kiang untuk bersekutu dengan mereka. Karena itulah kami bertugas untuk melakukan penyelidikan tentang kebenaran berita itu.”

“Berita itu benar dan tidak perlu disangsikan lagi, paman.”

“Bagaimana engkau dapat begitu yakin, adik Bwe Hwa? Aku boleh menyebutmu adik, bukan?”

“Tentu saja, kalau engkau putera bibi Maya berarti kita adalah orang sendiri. Akupun akan menyebutmu koko. Tentu saja aku yakin akan kebenaran berita itu karena aku baru saja meninggalkan Kui-jiauw-pang. Tadinya aku disambut dengan baik sebagai tamu terhormat. Akan tetapi aku kemudian mengetahui bahwa mereka adalah sekumpulan orang jahat. Ada tokoh-tokoh Pek-lian-kauw disana, dan kabarnya ada pula sepasukan orang Pek-lian-pai yang sudah siap membantu.”

Mendengar ini Cang Hok Thian berpaling kepada Gui Tin dan berkata,
“Paman Gui Tin tidak perlu meragukan lagi. Keterangan adik Bwe Hwa tentu benar, maka sebaiknya kalau kita mempersiapkan pasukan untuk mengepung puncak ini.”

“Benar sekali, kita harus cepat mempersiapkan pasukan kita,” kata Gui Tin. “Sekarang juga kita berangkat!”

“Adik Bwe Hwa, sebaiknya kalau engkau ikut pula dengan kami dan membantu kami menghancurkan para pemberontak.”

“Biarlah Paman Gui Tin dan engkau saja yang melakukan persiapan itu, Thian-ko. Aku hendak menyelidiki dimana adanya Pek-lui-kiam yang berada di tangan mereka. Aku harus merampas pusaka itu. Selamat berpisah!”

Seteah berkata demikian, Bwe Hwa mengangkat kedua tangan depan dada lalu sekali berkelebat Bwe Hwa sudah lenyap diantara pohon-pohon. Cang Hok Thian memandang dengan kagum kearah lenyapnya Bwe Hwa. Dia terpesona oleh kecantikan dan kecepatan gerakan gadis itu. Gui Tin tersenyum memandang pemuda yang terpesona itu.

“Dara itu seorang pendekar wanita yang hebat.”

Hok Thian tersadar dari lamunannya dan tergugup berkata,
“Ah, benar sekali paman.”

Sambil tersenyum Gui Tin berkata,
“Mari kita berangkat, Kongcu.”

“YA, baiklah, paman!”

Pemuda itu berkata seakan menjadi orang yang canggung sekali. Semangatnya seperti hilang setengahnya terbawa terbang gadis yang membuatnya terpesona itu. Mereka lalu menuruni lereng itu untuk bergabung dengan pasukan yang telah dipersiapkan dilereng terbawah.

**** 89 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar