Ads

Senin, 26 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 92

Setelah bayangan Si Kong lenyap, Lam Tok menghampiri jenazah puterinya dan berjongkok dekat jenazah, melamun sedih. Gin Ciong menghampiri ayahnya dan menceritakan betapa dia sudah diterima oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai dan bersekutu dengan mereka. Tung Giam Ong Tio Sun adalah datuk besar timur yang tentu saja sudah mengenal nama besar Pek-lian-pai sebagai perkumpulan pemberontak yang kuat. Dia mendengar bahwa puteranya telah bersekutu dengan mereka, maka dia menjadi girang sekali.

“Kabarnya Pek-lui-kiam berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang,” katanya.

“Benar, ayah. Akan tetapi kini Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, yaitu Toa Ok, Ji Ok dan Ang I Sianjin yang kini memakai julukan Sam Ok. Toa Ok yang mengatur bahwa yang didapatkan para tokoh kangouw hanyalah Pek-lui-kiam palsu, sedangkan yang asli berada didalam kekuasaannya.”

“Hemm, aku datang kesini atas undangan Toa Ok dan Ji Ok untuk menentukan siapa diantara empat datuk besar dari empat penjuru yang pantas mendapatkan gelar datuk terlihai di dunia! Kalau begitu, siapa menang dalam pertandingan nanti berhak memiliki Pek-lui-kiam!”

“Ayah, mengenai Pek-lui-kiam harap jangan khawatir. Toa Ok dan Ji Ok telah bergabung dengan Pek-lian-pai dan mereka memiliki cita-cita besar untuk meraih kedudukan tertinggi setelah kerajaan Beng dapat kita kuasai. Kalau ayah menyatakan bersedia membantu gerakan mereka, tentu urusan pedang Pek-lui-kiam menjadi mudah dan tanpa susah payah ayah akan dapat memilikinya sebagai upah ayah suka membantu gerakan mereka.”

Wajah Tung Giam Ong Tio Sun berseri mendengar ucapan puteranya itu.
“Kau pikir begitukah? Dan bagaimana dengan Lam Tok itu? Diapun ikut diundang dan diapun menginginkan pedang pusaka Pek-lui-kiam!”

Gin Ciong memandang ke arah kakek yang masih duduk dekat jenazah Cu Yin dan termenung sedih. Pemuda ini mengerutkan alisnya. Cu Yin yang diharapkan menjadi isterinya telah tewas. Tidak ada hubungannya lagi dengan Lam Tok dan bahkan Lam Tok merupakan saingan yang berat, patut disingkirkan lebih dulu.

“Ayah, diapun menghendaki pedang Pek-lui-kiam. Dia musuh kita. Akan tetapi kalau dia suka membantu gerakan kita, dia boleh dijadikan teman.”

“Kalau dia tidak mau bekerja sama?” tanya kakek tinggi kurus yang mukanya penuh brewok itu.

Gin Ciong menggerakkan tangan kanan seperti sebatang golok dan menggorok lehernya sendiri, sebagai tanda bahwa kalau Lam Tok menolak bekerja sama, lebih baik dibunuh saja! Isarat ini membuat Tung Giam Ong merasa senang dan dia menyeringai lebar sambil mendekati Lam Tok yang masih duduk bersila dekat jenazah puterinya.

“Hemm, Lam Tok. Yang sudah mati tidak perlu ditangisi, tiada gunanya. Lebih baik sekarang engkau bekerja sama dengan aku dan kelak kita tentu akan mampu membalas dendam kepada Si Kong itu!”

Lam Tok menoleh dan memandang kepada Tung-giam-ong dengan wajah dingin.
“Bekerja sama dengan kamu?” Dia mengulang dalam suaranya terkandung ejekan.

“Bukan saja dengan aku, Lam Tok. Akan tetapi terutama sekali membantu Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai.”

Tiba-tiba Lam Tok meloncat berdiri. Mukanya berubah merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka Tung-giam-ong.

“Tung-giam-ong, kau kira aku ini orang apa? Engkau mengajak aku bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memberontak? Aku bukan pemberontak dan aku tidak sudi membantu Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, tidak sudi bekerja sama dengan pengkhianat macam kamu!”

Wajah Tung-giam-ong menjadi pucat, lalu merah sekali.
“Jahanam busuk, kau berani menghinaku?”

Sementara itu Gin Ciong sudah memberi aba-aba kepada orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai.

“Bunuh orang tak tahu diri ini!”

Pada saat itu, Tung-giam-ong sudah menyerang Lam Tok dengan senjata tombak cagaknya. Gin Ciong mencabut pedangnya dan diapun menyerang LamTok.

Lam Tok yang marah sekali itu sudah pula mencabut pedangnya dan dia menangkis penyerangan ayah dan anak itu, dan membalas serangan mereka dengan tak kalah hebatnya. Akan tetapi Lam Tok sekali ini menghadapi pengeroyokan yang ketat dan kuat. Baru menghadapi Tung-giam-ong seorang saja kepandaiannya sudah seimbang. Dengan pengeroyokan Gin Ciong, Lam Tok sudah terdesak, apalagi masih ada puluhan orang anggauta Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai yang mengeroyoknya, maka dia segera terdesak hebat.






Lam Tok mengamuk. Ketika dia berloncatan meninggalkan pengeroyokan ayah dan anak itu dan menerjang kepungan anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, pedangnya diputar dengan hebat dan empat ornag pengeroyok mati berdarah.

Akan tetapi Tung-giam-ong Tio Sun dan Tio Gin Ciong sudah mengejar dan menyerang dengan berbareng, membuat Lam Tok terpaksa harus memutar pedang menangkis. Pada saat itulah, sebuah cakar setan dari anggauta Kui-jiauw-pang telah mengenai punggungnya.

Cakaran itu merobek baju dan kulit punggungnya, mendatangkan luka memanjang. Lam Tok terkejut dan membalikkan tubuhya. Tangan kirinya menyambar dan dia sudah dapat memegang lengan penyerangnya itu dan sekali sentakan, tubuh anggauta Kui-jiauw-pang itu terangkat ke atas lalu dibanting ke atas tanah. Orang itu tewas seketika.

Lam Tok sudah pula memutar pedangnya, akan tetapi pengeroyokan semakin ketat dan kembali pundak kirinya terkena goresan cakar setan. Karena luka dipunggung dan pundaknya itu terasa nyeri sekali, Lam Tok lalu meniru perbuatan Si Kong tadi. Dia meloncat dan menyerbu diantara para anggauta Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, menyelinap diantara mereka dan merobohkan banyak orang. Akhirnya dia dapat lolos, melarikan diri dan dikejar oleh Tung-giam-ong dan Gin Ciong.

Kembali Lam Tok dapat dikejar dan terpaksa melayani datuk timur dan puteranya itu. Akan tetapi luka-luka beracun di punggung dan pundaknya membuat gerakannya lambat dan terpaksa dia mundur terus sampai tiba di dekat jurang. Karena tidak mungkin mundur lagi, dia mengamuk menghadapi pengeroyokan dua orang itu dan akhirnya, sebuah pukulan tangan kiri Tung-giam-ong mengenai dadanya. Pukulan itu adalah satu jurus dari Thai-yang Sin-ciang. Dadanya yang terpukul terasa panas dan tubuhnya terjengkang masuk ke dalam jurang yang menganga di belakang Lam Tok.

Tung-giam-ong dan Gin Ciong menjenguk ke dalam jurang. Ternyata jurang itu amat dalam dan tertutup kabut sehingga mereka tidak dapat melihat tubuh Lam Tok.

“Ha-ha-ha, lenyaplah sudah seorang sainganku!” Tung-giam-ong tertawa bergelak karena girangnya.

Ketika terjatuh tadi, pikiran Lam Tok masih terang. Tahulah dia bahwa bahaya maut mengancam dirinya. Dia berusaha untuk menggunakan kedua tangan meraih, kalau-kalau ada sebatang pohon terjulur, akan tetapi tangannya tidak dapat menangkap apa-apa dan dirinya tenggelam dalam kabut. Tidak ada lain jalan baginya untuk menyelamatkan diri kecuali mengerahkan tenaga saktinya melindungi tubuh dari bantingan ke dasar jurang.

“Wuuuuttt…… bukk…….!!”

Tubuh Lam Tok terbanting ke atas dasar jurang itu. Dia sudah mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi pinggulnya dari bantingan itu. Akan tetapi ternyata dia mendarat dengan mulus dan lunak. Kiranya di tempat itu terdapat banyak daun kering, bertumpuk sampai tebal sehingga merupakan tempat lunak seolah dia terbanting ke atas kasur tebal!

Akan tetapi rasa nyeri di punggung dan pundaknya karena terluka cakar setan membuat dia pening sekali. Apalagi bekas pukulan Tung-giam-ong tadi masih terasa panas sekali olehnya, maka setelah merintih satu kali, Lam Tok lalu jatuh pingsan.

-o0odw.~.kzo0o¬

Lam Tok membuka matanya dan dia segera teringat bahwa dia habis dikeroyok Tung-giam-ong dan terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat pula bahwa punggung dan pundaknya terluka oleh cakaran setan anggauta Kui-jiauw-pang yang mendatangkan rasa nyeri bukan main.

Akan tetapi dia merasa heran karena punggung dan pundaknya tidak terasa sakit sama sekali. Juga rasa panas akibat pukulan Tung-giam-ong sudah lenyap! Dan bajunya tersingkap seolah ada yang menanggalkannya sebagian. Terdengar gerakan orang disebelah kirinya dan Lam Tok segera menengok. Ketika melihat bahwa seorang pemuda duduk diatas batu di sebelahnya, dia segera bangkit, kaget karena dia mengenal pemuda itu sebagai Si Kong!

Dia menoleh ke kanan kiri. Dia tidak lagi berada di dasar jurang, melainkan dalam sebuah hutan, rebah di atas rumput hijau. Lam Tok adalah seorang yang cerdik sekali maka sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda ini yang telah memindahkannya dari dasar jurang. Dia mengerahkan sinkang ke punggung dan pundaknya. Tidak terasa nyeri. Juga dadanya yang tadi terasa panas kini telah biasa kembali.

Lam Tok dapat menduga bahwa dia telah di tolong oleh Si Kong. Akan tetapi, dia bangkit duduk, memandang kepada Si Kong lalu bertanya, suaranya dingin karena dia masih ingat bahwa pemuda ini yang menyebabkan kematian Cu Yin.

“Engkau disini?”

Si Kong memberi hormat dan berkata sopan,
“Saya melihat locianpwe rebah pingsan di dasar jurang itu.” Dia menuding kedepan dimana terdapat jurang.

“Engkau memindahkan aku kesini dan engkau yang mengobati aku sehingga lukaku sembuh?” tanyanya lagi dan pandang mata datuk itu mengamati wajah Si Kong penuh selidik.

“Benar, locianpwe. Melihat locianpwe terluka goresan cakar beracun dan akibat pukulan yang berhawa panas, aku lalu mengobati locianpwe dengan menyedot racun dan melawan hawa panas dengan sinkang. Sayang aku tidak mempunyai mustika batu giok seperti yang dimiliki nona Tang Hui Lan sehingga bekas racun itu belum bersih benar, akan tetapi dengan pengerahan sinkang, locianpwe tentu akan dapat mengusirnya keluar.”

“Hemm, mengapa engkau menolong dan menyelamatkan aku?” pertanyaan ini dilakukan dengan suara membentak seperti orang menuntut.

“Mengapa tidak, locianpwe? Melihat engkau atau siapa saja menggeletak pingsan dan terancam bahaya maut, tentu saja aku turun tangan menolongmu.”

“Tapi…… tadi aku berusaha untuk membunuhmu! Bahkan mengeroyokmu dengan si jahanam Tung-giam-ong itu. Dan engkaupun tentu sudah mati di tanganku kalau saja Cu Yin tidak mengorbankan nyawa untukmu!”

Si Kong memejamkan kedua matanya dan mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara parau penuh permohonan.

“Ah, locianpwe, aku mohon janganlan locianpwe bicara lagi tentang Yin-moi!”

Si Kong membuka matanya yang menjadi basah air mata. Hatinya tertusuk ketika dia teringat akan Cu Yin, gadis yang sesungguhnya dikasihinya itu.

“Cu Yin begitu mencintamu, mengapa engkau pernah menolak cintanya?”

“Aku tidak menolak, hanya…. merasa tidak berharga untuk melakukan perjalanan bersamanya, pula tidak patut dipandang orang kalau seorang gadis seperti ia melakukan perjalanan bersama seorang pemuda. Akan tetapi…. ah, semua itu telah berlalu, locianpwe dan aku memang bersalah kepada Cu Yin. kalau locianpwe masih merasa menyesal dan hendak membunuh aku, silakan. Aku tidak akan melawan.”

Melihat pemuda itu demikian sedihnya, kemarahan Lam Tok menghilang, bahkan timbul rasa suka di hatinya terhadap pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya ini dan berkata dengan nada keras.

“Sudahlah, pergilah, pergi jauh-jauh sebelum aku berubah pikiran. Pergi tinggalkan aku seorang diri!”

Si Kong menghela napas dan bangkit berdiri lalu memberi hormat kepada datuk itu.
“Selamat tinggal, locianpwe.”

Lam Tok diam saja, wajahnya dingin dan dia bersila sambil memejamkan matanya untuk menghimpun hawa murni dan menghilangkan sisa racun dari punggung dan pundaknya.

Si Kong memandang dengan terharu, maklum betapa sedihnya datuk yang kehilangan puterinya itu, dan dia lalu pergi meniggalkan Lam Tok. Si Kong berlari cepat ke tempat dimana pertempuran tadi berlangsung. Dan seperti yang diharapkannya, jenazah Cu Yin masih menggeletak disitu, tidak ada yang mengurus, sedangkan mayat-mayat para anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah dibawa rekan-rekan mereka.

Dia merasa kasihan sekali kepada Cu Yin. Tak disangkanya nasib gadis jenaka itu demikian menyedihkan. Tewas di tangan ayah kandungnya sendiri dan jenazahnya terlantar tidak ada yang mengurusnya.

“Maafkan aku, Yin-moi. Baru sekarang aku dapat mengurus jenazahmu. Semoga arwahmu mendapat tempat yang layak dialam baka.”

Si Kong lalu menggali sebuah lubang yang cukup dalam. Dengan hati kasihan dan terharu terpaksa dia menguburkan jenazah itu begitu saja, tanpa peti, tanpa upacara sembahyang, tanpa apa-apa. Dan setelah dia merebahkan jenazah itu di dalam lubang, dari atas dia melihat jenazah itu dan kembali kedua matanya basah. Cu Yin yang nampak demikian cantik rebah di lubang itu, seperti orang sedang tidur pulas saja.

“Selamat berpisah, Yin-moi, semoga kita dapat saling bertemu kembali dialam lain.”

Dia menguatkan batinnya, menutupi jenazah itu dengan daun-daun kering sehingga tidak nampak lagi dan barulah dia tega untuk menutup lubang itu dengan tanah kembali. Setelah selesai, dia mengambil sebuah batu besar yang digulingkannya ke depan makam itu agar dapat menjadi semacam nisan atau tanda. Dengan mengerahkan sinkangnya, dia lalu mengukir beberapa huruf di permukaan batu, yang berbunyi:

“Yang tercinta Siangkoan Cu Yin.”

Setelah duduk bersila didepan batu nisan itu selama setengah jam, Si Kong lalu bangkit dan sekali lagi memandang ke arah gundukan tanah, berbisik,

“Selamat tinggal Yin-moi.”

Dia lalu mengerahkan tenaganya dan sebentar saja hilang dari tempat itu, berlari cepat sekali diantara pohon-pohon besar.

**** 92 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar