Ads

Jumat, 24 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 08

"Dukkk ……..!!"

Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan diapun cepat menjatuhkan dirinya dan bergulingan. Melihat ini, Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang dan pada saat itu, Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka diapun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.

"Dukkk!"

Kembali dia tergetar hebat walaupun lawannya juga terpental kebelakang. Diam-diam Hui Song terkejut. Kiranya empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sin-kang, tidak kalah jauh olehnya! Melawan mereka satu per satu, dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya.

Yang lebih kaget adalah tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Biarpun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai daripada ayahnya yang sudah tua, namun tak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini, sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Hyaaatttt…………..!”

Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan kuatnya. Tiga orang tosu mengepung ketat, namun mereka tidak berani terlalu mendesak dekat karena kedua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita itu.
"Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"

Karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa, tiga orang tosu itu berlompatan mundur. Juga Hui Song menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu sudah menodongkan pedangnya ke atas leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!

"Cia Hui Song, lihat baik-baik. Kalau engkau masih hendak menggunakan kekerasan, terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"

Sebelumnya, Bi Hwa yang cerdik telah memulihkan gerak leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.

"Ayah…….! Ayah………!!”

Kui Bu memanggil dan menangis sesenggukan. Anak itu amat menderita, sakit-sakit tubuhnya karena dicambuki dan juga ketakutan.

Akan tetapi ayahnya membentak nyaring.
"Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!" ,

"Ayah…….., Kui Bu dalam bahaya……"

Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang kejam seperti wanita itu bukan hanya gertak kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang diancamkannya tadi.

"Lawan mereka! Kalau engkau menyerahpun percuma, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Song!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak.

."Dukk!"

Kim Hwa Cu menotok dan kakek itupun terkulai pingsan. Melihat ini, Hui Song marah sekali, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu.

"Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan.

Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Akan tetapi bagaimana mungkin dia tega melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di depannya?

"Katakan dulu, apa kehendakmu kalau aku tidak melawan." katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.






"Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan…… eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal, engkau mentaati permintaan-permintaan kami."

"Hemm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?"

"Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tidak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kamipun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."

Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, kepada anaknya yang masih menangis lirih, lalu kepada tiga orang pendeta itu.

"Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Kalau hanya engkau saja yang berjanji, nona, terus terang aku tidak percaya."

"Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa.

Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu demikian taat. Mereka mengangguk dan serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya.

"Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."

Hui Song tidak habis mengerti bagaimana tiga orang guru begitu taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda dan melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat daripada mereka bertiga? Akan tetapi dia tidak perduli.

Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa oleh pimpinan Pek-lian-kauw diangkat menjadi pimpinan dari rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya adalah orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apalagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka.

"Akupun berjanji tidak akan rnelawan dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!”

“Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!"

"Baik, Su Siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia bangkit, menghampiri kakek Cia Kong Liang dan memanggulnya, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ.

"Ayah……!”

"Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kong-kong baik-baik." kata Hui Song menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.

"Awas kalian berempat. Kalau sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.

"Hi-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis.

Kini ia menyebut tai-hiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apalagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu membunuh anaknya dan ayahnya.

"Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang, engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu.” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali.

Tanpa bicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang ,berjalan di depannya, sedangkan tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, sekali serang dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, dan diapun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya.

Akan tetapi, perbuatannya itu andaikata dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan disana ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka. Maka diapun menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata telah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan telah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu.

Lorong itu cukup panjang, ada seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar itu, yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat, dia dapat melihat betapa kurang lebih lima puluh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.

"Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat disana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, maka tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas."

Setelah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.

“Nanti dulu!" Tiba-tiba Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?"

Wanita muda itu tersenyum.
"Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka ini adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu ……..”

Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw.

"Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?”

Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa.
"Hi-hik, engkau cerdik, tai-hiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu benar. Aih, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!"

Hui Song tidak menjawab dan tidak mau bicara lagi, membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia melihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin masih ada lebih banyak lagi yang berada di luar.

Dugaan Hui Song memang benar. Ada tiga puluh orang-anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semua dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggauta Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka.

Ciok Gun telah dibius dan disihir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Apapun yang diperintahkan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biarpun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya amat baik, amat menyenangkan dan amat mencintanya itu!

Akan tetapi, belasan orang penjaga di luar itu bersikap acuh dan seolah-olah tidak memperdulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, dan yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak.

Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat daripada besi. Dan andaikata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.

"Hui Song…..!”

Pendekar itu menengok. Ayahnya telah siuman, bahkan telah berdiri di depan jendela beruji menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dan agaknya dalam keadaan sehat saja.

"Ayah ……..!"

Kui Bu juga berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya, juga anaknya tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja. Hatinya merasa lega.

"Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega.

"Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?"

"Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tidak akan dapat berbuat sesuatu." jawab Hui Song dan jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut.

Biarpun hatinya merasa penasaran, ketika teringat akan cucunya yang masih kecil, diapun dapat memaklumi sikap puteranya.

"Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan, dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada disini bersamaku."

"Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan.

Agaknya karena melihat ayahnya berada disitu dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, semangat anak itu timbul dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng.

Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menanti terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Kalau ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi.

**** 08 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar