Ads

Rabu, 05 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 53

Tentu saja Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini, juga para tamu yang duduk dekat pintu mendengar ini dan merekapun berbisik-bisik, sehingga bisikan itu akhirnya terdengar oleh sepasang mempelai.

Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian terkejut sekali, dan biarpun tidak pantas bagi sepasang mempelai yang sedang duduk bersanding itu untuk bangkit sebelum waktunya, mereka tidak perduli dan keduanya sudah bangkit dan mendekat ke pintu.

Demikian pula Pek Kong dan isterinya Siauw Bwee, Pek Ki Bu dan lima orang tokoh pimpinan Pek-sim-pang bangkit dan mendekat ke pintu. Mereka adalah keluarga pengantin pria, besan dari tuan rumah, maka tentu saja mereka harus ikut menjaga keamanan pesta pernikahan itu.

Dengan sikap tenang, Siangkoan Ci Kang yang mendengar ucapan kakek gendut itu lalu berkata,

"Lo-cian-pwe siapakah dan mengapa pula Lo-cian-pwe datang hendak menangkap aku?"

Biarpun kini di dekat pintu telah berkumpul banyak orang, diantaranya sepasang mempelai dan keluarga mempelai pria, kakek gendut itu tidak perduli dan diapun bicara dengan lantang seperti seorang hakim yang mengadili seorang terdakwa.

"Siangkoan Ci Kang, ingatkah engkau kepada Ceng Hok Hwesio, ketua cabang Siauw-lim-pai di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha tak begitu jauh dari sini?"

Pendekar yang lengan kirinya buntung itu mengerutkan alisnya, menduga-duga siapa orang ini dan apa hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia menjawab dengan tegas.

"Tentu saja aku masih ingat dengan baik kepada suhu Ceng Hok Hwesio."

"Omitohud …..! Bagus sekali kalau begitu. Tentu engkau mau pula mengakui bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena engkau! Karena ulahmu, murid yang murtad!” Senyum itu menghilang dari wajah yang menghitam, dan mata itu mencorong.

Siangkoan Ci Kang tidak merasa heran mendengar bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena memang hwesio itu sudah tua. Akan tetapi dia merasa terkejut dan penasaran mendengar tuduhan bahwa hwesio tua itu mati karena ulahnya.

"Lo-cian-pwe, bicaralah yang jelas. Memang aku mengenal baik mendiang suhu Ceng Hok Hwesio, bahkan aku menjadi muridnya untuk mempelajari soal agama, akan tetapi aku tidak merasa telah menyebabkan kematiannya! Bahkan aku baru tahu sekarang bahwa dia telah meninggal dunia."

"Heh-heh, kalau kami tahu sejak dahulu, jangan harap engkau akan dapat hidup sampai hari ini. Sayang kami tahu setelah terlambat. Kami datang ke kuil itu dan mendapatkan Ceng Hok Hwesio sudah tinggal tulang dan kulit, bahkan dia mati dalam pelukan kami. Dan dari para hwesio disana, kami mendengar tentang kematiannya. Siangkoan Ci Kang, dahulu engkau sebagai seorang muda datang kepada Ceng Hok Hwesio bersama seorang wanita bernama Toan Hui Cu……”

"Akulah Toan Hui Cu yang datang bersama dia ke kuil Siauw-lim-pai!" tiba-tiba Toan Hui Cu berkata dengan nada ketus.

"Aha, kiranya keduanya berada disini dan menjadi suami isteri, ya? Omitohud, ini memudahkan pekerjaan pinceng (aku). Nah, bersiaplah kalian berdua untuk ikut dengan kami ke kuil Siauw-lim-pai itu, untuk menebus dosa dan menerima hukuman atas perbuatan kalian. Kalian telah mengotori kuil, kalian menodai kesucian kuil sehingga Ceng Hok Hwesio menghukum kalian. Akan tetapi hal itu membuat dia menyesali dirinya sendiri sehingga selama bertahun-tahun dia menyiksa diri, bertapa di dalam ruangan tertutup dan akhirnya berpuasa sampai mati. Kalian harus menebus dosa!"

Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu termenung sejenak mendengar ucapan itu. Teringat mereka akan semua peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu itu. Siangkoan Ci Kang merasa bahwa dia adalah keturunan seorang datuk sesat, yaitu Si Iblis Buta, sedangkan Toan Hui Cu lebih lagi, karena ayah ibunya adalah Raja dan Ratu Iblis. Keduanya saling jatuh cinta, kemudian karena ingin membersihkan diri, mereka bersepakat untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka di dalam kuil Siauw-lim-pai yang dipimpin oleh Ceng Hok Hwesio.

Mereka diterima sebagai murid untuk mempelajari agama dan bersamadhi menebus dosa. Akan tetapi, kecantikan Hui Cu agaknya membuat Ceng Hok Hwesio lupa diri. Nafsu telah mencengkeramnya, mendatangkan gairah dan dia mendekati Hui Cu. Akan tetapi, Hui Cu yang mencinta Siangkoan Ci Kang dan telah menyerahkan jiwa raganya, tentu saja menolak. Hal ini membuat Ceng Hok Hwesio menjadi marah dan dendam. Dia lalu menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda itu, dan mengharuskan mereka "bertapa" di ruangan terpisah selama dua puluh tahun. Baru dengan cara demikian, kotoran dari dosa orang tua mereka akan dapat terhapus!






Mereka berdua mentaati hukuman itu, biarpun secara diam-diam mereka pernah berhubungan sebagai suami isteri. Terlahirlah Siangkoan Bi Lian yang terpaksa mereka titipkan ke sebuah dusun, kepada seorang penduduk. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk sewaktu-waktu menengok anak mereka.

Akan tetapi kemudian Bi Lian diculik datuk jahat dan menjadi murid para datuk, dan baru setelah gadis itu dewasa maka dapat bertemu kembali dengan mereka, berkat bantuan Pek Han Siong, murid mereka. Dan kini, tiba-tiba saja muncul dua orang pendeta aneh ini yang menyalahkan mereka karena kematian Ceng Hok Hwesio yang sudah tua!

"Lo-cian-pwe, kami tidak pernah melakukan pelanggaran dan selalu mentaati mendiang suhu Ceng Hok Hwesio. Kami tidak tahu-menahu tentang kematiannya, dan kalau dia mati tua dan mati karena bertapa, kenapa harus menyalahkan kami?"

"Omitohud ……..! Kalau tidak karena ulah kalian, tidak mungkin beliau mati dalam keadaan tersiksa lahir batin seperti itu! Kalian harus dihukum!"

"Penasaran ……!"

Tiba-tiba kakek Pek Ki Bu yang sejak tadi mendengarkan saja, berseru marah dan diapun menghampiri dua orang pendeta itu.

Si gendut memandang kepadanya dan mulutnya menyeringai sadis.
"Hem, siapapun juga tidak boleh mencampuri urusan kami! Orang luar yang lancang akan celaka."

"Hemm, hwesio sombong, aku bukan orang luar! Bahkan aku heran sekali kalau engkau mengaku hendak mengurus tentang Ceng Hok Hwesio. Aku kenal baik Ceng Hok Hwesio karena dia adalah saudara seperguruanku, dia murid keponakan mendiang ayahku, Pek Khun! Siangkoan Ci Kang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, dan kalau Ceng Hok Hwesio mati tua dalam pertapaannya, kenapa harus menyalahkan dia?"

"Akulah saksinya bahwa suhu Siangkoan Ci Kang tidak bersalah!" Tiba-tiba Pek Han Siong berseru dengan tenang dan juga menghadapi dua orang pendeta itu.

Si gendut melemparkan senyumnya.
"Dan siapa pula engkau! Bukankah engkau mempelai prianya?" tanyanya sambil memandang pakaian Han Siong, pakaian pengantin.

"Benar. Aku adalah Pek Han Siong, dan aku murid suhu Siangkoan Ci Kang dan subo Toan Hui Cu yang kini menjadi mertuaku. Aku juga bekas murid di kuil Siauw-lim-si yang dipimpin mendiang Ceng Hok Hwesio. Aku pernah berkunjung kesana setelah suhu dan subo bebas dari hukuman di kuil itu, dan Ceng Hok Hwesio sendiri yang mengatakan bahwa dia telah merasa menyesal karena menghukum suhu dan subo tanpa salah! Kalau dia mati karena penyesalan, hal itu bukanlah kesalahan suhu dan subo!"

Siangkoan Ci Kang melangkah maju dan menghadapi keluarga Pek dan mohon agar mereka mundur.

"Biarlah kami yang akan menghadapi semua urusan ini," katanya. Lalu dia menghadapi dua orang pendeta itu dan berkata. "Ji-wi datang dengan tuduhan-tuduhan dan tuntutan, akan tetapi kami belum mengetahui siapakah ji-wi sebenarnya dan apa hubungan ji-wi dengan Ceng Hok Hwesio maka kini menuntut kami."

"Sebut saja aku Hek-tok Sian-su (Dewa Racun Hitam) dan dia ini suhengku Ban-tok Sian-su (Dewa Racun Selaksa). Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang bahwa dahulu kami pernah menjadi tokoh-tokoh sesat. Kami disadarkan oleh Cang Hok Hwesio, bahkan setelah diajar agama, beliau mengirim kami berdua ke India untuk memperdalam ilmu. Kami berhutang budi yang lebih besar daripada nyawa kepada Ceng Hok Hwesio. Sampai puluhan tahun kami memperdalam ilmu di dunia barat dan dengan penuh kerinduan akhirnya kami pulang ke kuil. Dan apa yang kami temukan? Ceng Hok Hwesio yang tinggal kulit dan tulang, napasnya tinggal satu-satu dan dia meninggal dalam rangkulan kami. Dan dari para hwesio kami mendengar tentang engkau dan isterimu. Nah, kami segera mencarimu dan akhirnya saat ini kita dapat berhadapan."

Siangkoan Bi Lian sejak tadi hanya mendengarkan saja, akan tetapi kini ia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Ia meloncat ke depan, lengkap dengan pakaian pengantin dan tangan kirinya bergerak, telunjuknya menunjuk ke arah hidung pendeta gendut itu.

"Kalian pendeta-pendeta sesat! Selama ini, kalau kalian memperdalam ilmu tentang agama, tentu kalian menjadi manusia-manusia yang arif bijaksana dan budiman. Akan tetapi kalian pulang sebagai iblis-iblis penuh dendam, bahkan julukan kalian juga Racun! Jelas, yang kalian pelajari dan perdalam selama ini hanyalah ilmu iblis!"

Bentakan Bi Lian ini memang tepat sekali dengan suara hati mereka yang hadir, yang juga menduga demikian setelah mendengar cerita pendeta gendut, dan agaknya Siangkoan Bi Lian sudah akan menerjang maju menyerang dua orang pendeta, siap dibantu oleh Han Siong. Akan tetapi melihat ini, Siangkoan Ci Kang cepat melompat ke depan dan mencegah sepasang mempelai itu turun tangan.

"Kalian mundurlah. Tidak baik bagi kalian yang sedang melangsungkan pernikahan untuk berkelahi. Urusan ini merupakan pribadi, biar kami berdua saja yang menghadapinya," katanya.

"Benar, orang lain harap jangan mencampuri. Kami berdua masih sanggup menghadapi dua orang iblis berjubah pendeta ini!" kata pula Toan Hui Cu dan dari ucapannya itu saja jelaslah bahwa nyonya ini juga sudah marah bukan main.

Hanya Ci Kang yang tetap tenang. Kini dia menghadapi si gendut, lalu bertanya,
"Ji-wi Lo-cianpwe, kami suami isteri tidak merasa bersalah, olen karena itu, kamipun menolak untuk menjadi tangkapan ji-wi dan tidak mau mengikuti ji-wi pergi. Nah, itulah keputusan kami dan terserah kepada ji-wi."

Si gendut itu tertawa dan menoleh kepada si kurus.
"Heh-heh-heh, Ban-tok, sudah kita duga bahwa mereka akan berani membantah dan melawan kita!"

Si kurus nampak makin muram dan dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab,

"Aihh, Hek-tok, sudahlah jangan ganggu mereka. Mereka sedang merayakan pernikahan anak mereka, kenapa diganggu? Sebaiknya kita pulang saja dan kita mengadakan sembahyangan besar untuk suhu Ceng Hok Hwesio."

Agaknya pendeta kurus yang kepalanya berambut tipis itu berbeda pendapat dengan kakek gundul yang menjadi sutenya. Dia nampak malas dan tidak bergairah.

"Heiii, Suheng Ban-tok! Apakah engkau takut melawan bocah berlengan buntung sebelah ini?"

Mendengar ucapan itu, si tinggi kurus yang tadinya bermalas-malasan dan seperti orang mengantuk, seketika terbangun semangatnya dan dia memandang marah kepada sutenya,

"Hek-tok, jangan seenak perut gendutmu saja engkau bicara! Aku takut? Biar orang tua dia ini, Si Iblis Buta bangkit dari kubur dan membantunya mengeroyokku, aku masih tidak takut!"

"Kalau tidak takut, kenapa banyak cakap lagi? Bantulah aku untuk menangkap dia dan membawanya ke kuil untuk menerima hukuman. Ini merupakan tugas kita membalas budi mendiang Ceng Hok Hwesio!" kata si gendut.

Mendengar ini, si tinggi kurus lalu melangkah maju menghadapi Siangkoan Ci Kang. Pendekar ini diam-diam terkejut. Kiranya dua orang aneh ini sudah menyelidiki secara mendalam tentang dirinya sehingga tahu pula bahwa dia adalah putera Si Iblis Buta.

"Siangkoan Ci Kang, sebaiknya engkau menyerah saja dan ikut dengan kami ke kuil. Tidak ada gunanya engkau melawanku. Ingat, selama empat puluh tahun kami menggembleng diri dan memperdalam ilmu-ilmu kami. Engkau takkan menang, bahkan mungkin terluka parah kalau berani melawan aku!" kata si tinggi kurus dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita.

"Pendeta siluman, kami akan menghajarmu!"

Lima orang pimpinan Pek-sim-pang, yaitu para pembantu dari Pek Kong ketuanya, tiba-tiba saja menerjang maju. Mereka sebagai tamu-tamu dan pengiring pengantin pria, menjadi marah sekali melihat ada orang-orang yang membikin kacau, mengganggu perayaan pernikahan itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar