Ads

Rabu, 05 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 54

Mereka merasa tidak enak sekali kalau berdiam diri saja, maka melihat pendeta gendut yang seolah-olah menjadi biang keladinya karena si kurus tadi kelihatan enggan berkelahi, kini menerjang ke arah si gendut dengan serentak. Mereka tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan pukulan dan tamparan. Akan tetapi karena mereka adalah tokoh-tokoh Pek-sim-pang yang tinggi tingkatnya, yaitu pembantu-pembantu ketua, maka serangan mereka itu cukup dahsyat, apalagi mereka menyerang dengan berbareng sambil mengerahkan tenaga.

Siangkoan Ci Kang terkejut, akan tetapi tidak sempat lagi untuk mencegah karena serbuan lima orang Pek-sim-pang itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Bahkan Pek Ki Bu dan Pek Kong sendiripun tidak mengira sehingga merekapun hanya dapat memandang. Mereka semua menjadi semakin kaget melihat betapa kakek gendut itu masih menyeringai saja, sama sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak ataupun menangkis.

Maka tentu saja pukulan lima orang Pek-sim-pang itu mengenai sasaran dengan tepat dan terdengar lah suara bak-bik-buk seperti orang-orang memukuli sekarung pasir ketika pukulan-pukulan itu mengenai sasaran, yaitu di perut, punggung, dada, lambung dan leher kakek gendut itu.

Akibatnya ternyata lebih mengejutkan lagi. Kakek gendut itu masih nampak berdiri sambil menyeringai, bahkan kini terdengar suara tawanya, sebaliknya lima orang yang berhasil menyarangkan pukulan mereka ke sasaran itu, terjengkang atau terpelanting roboh, berkelojotan dan segera terdiam kaku, mati dengan tubuh berubah menghitam seperti kulit kakek gendut itu!

Siangkoan Ci Kang terkejut bukan main. Kiranya si gendut hitam itu merupakan orang yang memiliki tubuh yang beracun, luar biasa sekali betapa pukulan itu diterimanya begitu saja dan yang memukul sudah keracunan! Ini merupakan ilmu sesat yang amat jahat dan kejam, padahal pukulan lima orang itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat!

"Jangan sentuh……!”

Han Siong berseru ketika melihat ayah dan kakeknya meloncat ke dekat mayat-mayat itu. Untung dia mengeluarkan seruan ini karena orang yang menyentuh mayat-mayat itu terancam bahaya keracunan, setidaknya keracunan kulitnya.

"Ha-ha-ha, jangan salahkan pinceng (aku). Mereka itu menyerangku, dan mereka mati karena perbuatan sendiri. Memang sudah takdirnya mereka mati." kata si gendut sambil tertawa-tawa.

Wajah Siangkoan Ci Kang berubah. Kini dia marah sekali. Dalam pesta pernikahan puterinya terjadi bukan hanya pengacauan, akan tetapi juga pembunuhan walaupun dia juga melihat sendiri betapa lima orang tamu itu tadi menyerang si kakek gendut yang sama sekali tidak menangkis atau balas menyerang. Bagaimanapun juga, lima orang itu adalah tamu-tamunya, bahkan tamu kehormatan karena mereka adalah pengikut-pengikut mempelai pria, tokoh-tokoh Pek-sim-pang. Dialah yang bertanggung jawab, sebagai tuan rumah.

"Kalian adalah orang-orang tua, pendeta-pendeta yang tidak patut dihormati. Kalian iblis-iblis jahat!" bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan.

Akan tetapi sebelum pendekar ini menyerang si gendut yang telah membunuh lima orang Pek-sim-pang, si kurus sudah menyambutnya dengan sambaran tangan ke arah leher. Sambaran tangan yang kurus panjang itu nampaknya tidak bertenaga, akan tetapi nampak sinar hitam dari telapak tangan itu dan tahulah Ci Kang bahwa si tinggi kurus inipun mempunyai pukulan beracun, apalagi kalau diingat bahwa Julukannyapun Ban-tok Sian-su (Dewa Selaksa Racun)! Dia mengelak dengan menarik tubuh atas ke samping, lalu dari samping, tangannya menyambar dengan totokan ke arah lambung.

Ban-tok Sian-su dapat mengelak dengan mudah dan membalas lagi, kini kedua orang sakti itu saling serang dengan dahsyatnya. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut dan kalau mengenai sasaran, tentu akan mematikan. Karena maklum sepenuhnya bahwa lawannya menggunakan hawa beracun yang amat berbahaya, maka Siangkoan Ci Kang selalu mengandalkan kecepatan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dari setiap serangan, tidak mau menangkis. Juga setiap kali menyerang, dia melindungi jari tangannya dengan sin-kang untuk menolak hawa beracun kalau sampai serangannya mengenai tubuh lawan, atau kalau lengannya beradu dengan lengan lawan yang menangkis.

Dari setiap kali adu lengan, pendekar inipun maklum bahwa lawannya benar-benar lihai, memiliki sinkang yang amat kuat, setidaknya tidak kalah kuat olehnya.

Puluhan jurus lewat dan mereka sama kuat akan tetapi Toan Hui Cu maklum bahwa suaminya terdesak dan ia tahu pula mengapa demikian. Suaminya tidak berani menangkis langsung dan selalu mengelak. Hal ini tentu saja mengurangi kesempatan baginya untuk memperbanyak serangannya dan terdesak lawan. Untuk menghadapi lawan yang ahli racun itu, memang berbahaya sekali menggunakan tangan kosong. Maka, nyonya ini lalu minta pedang Kwan-im-kiam dari Han Siong dan ia melemparkan pedang itu kepada suaminya sambi! berseru.

"Membunuh ular beracun harus dengan senjata. Terimalah ini!"






Ci Kang maklum akan maksud isterinya, maka diapun meloncat ke belakang menyambar pedang yang pada saat itu dilontarkan isterinya dengan penuh perhitungan. Setelah pedang Kwan-im-kiam berada di tangan kanannya, Ci Kang meloncat turun menghadapi lawannya. Dia adalah seorang gagah yang berjiwa pendekar, maka dia tidak segera menyerang, melainkan berkata dengan sikap gagah.

"Ban-tok Sian-su, keluarkan senjata- mu!"

Si tinggi kurus itu mewek-mewek seperti mau menangis, padahal maksud hatinya ingin tersenyum mengejek! Memang orang ini tidak bisa menggerakkan mulut untuk tertawa. Kedua ujung mulutnya selalu bergerak ke bawah, tidak dapat ke atas.

"Siangkoan Ci Kang, aku tak pernah menggunakan senjata. Menghadapi seorang muda seperti engkau, apa perlunya bersenjata? Majulah!"

"Lihat pedangku!"

Ci Kang membentak dan diapun mulai menyerang. Kakek tinggi kurus itu mengelak dan menyampok pedang dari samping dengan tangannya! Kakek itu memang lihai sekali. Kedua lengan dan tangannya agaknya memiliki kekebalan sehingga berani menyampok pedang pusaka dari samping. Biarpun tidak langsung menangkis mata pedang, namun sampokan ini saja sudah membuktikan bahwa lengannya kebal.

Kembali mereka saling serang dengan seru, bahkan lebih hebat daripada tadi. Setelah memegang Kwan-im-kiam, Siang-koan Ci-Kang bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Dia memang bersama isterinya telah mewarisi ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut yang dahsyat, apalagi ilmu itu dimainkan dengan Kwan-im-kiam, maka pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Indah namun berbahaya, lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat bukan main. Ilmu itu seperti menggambarkan sifat Dewi Kwan Im. Lemah lembut, luhur budi, namun mengandung kesaktian yang sukar dilawan!

Bahkan seorang sakti seperti Ban-tok Sian-su menjadi terkejut dan mulailah dia terdesak. Si gendut Hek-tok Sian-su yang menjadi penonton di pinggir, memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya lupa tersenyum. Hampir dia tidak percaya. Bagaimana mungkin suhengnya yang sudah menguasai ilmu yang amat hebat itu sampai terdesak oleh lawan yang lengannya buntung sebelah itu? Tadinya dia dan suhengnya amat memandang rendah kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengingat mereka hanyalah murid-murid Ceng Hok Hwesio yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah mereka.

Akan tetapi, diluar dugaannya Ci Kang bukan saja mampu menandingi Ban-tok Sian-su, bahkan mampu mendesaknya dan membuat suhengnya itu kini terancam bahaya. Tentu saja dia merasa gelisah! Dia ingin sekali membantu suhengnya yang kini terancam oleh gulungan sinar yang lembut namun amat kuat itu. Akan tetapi, dia bukanlah seorang bodoh yang sombong begitu saja. Dia dapat melihat kenyataan, dapat mengenal keadaannya dan mempertimbangkannya, menghitungnya masak-masak.

Kalau dia membantu suhengnya, hal itu bukan menguntungkan fihaknya, bahkan sama dengan melempar dirinya sendiri ke dalam bahaya. Disitu terdapat Toan Hui Cu yang kabarnya tidak kalah lihainya dibandingkan Ci Kang, apalagi mengingat bahwa wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Raja Iblis dan Ratu Iblis. Dan disitu masih terdapat pula sepasang mempelai, yaitu puteri dan murid suami isteri itu, yang tentu juga lihai, di samping adanya orang-orang Pek-sim-pang. Tidak, kalau dia main keroyokan, dia dan suhengnya akan celaka! Maka, dia menahan diri dan hanya menjadi penonton, dengan hati berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan.

Kekhawatiran Hek-tok Sian-su memang beralasan. Pada waktu itu, pertandingan itu sejak dimulai sampai sekarang telah berlangsung seratus jurus lebih dan kini Ban-tok Sian-su sudah terdesak hebat. Beberapa kali dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu kedua tangan yang didorongkan ke depan mengeluarkan uap hitam yang berbau busuk, tanda bahwa uap itu beracun dan jahat sekali.

Namun, gulungan sinar pedang itu menghalau uap hitam dan melihat ini Toan Hui Cu, Pek Han Siang, dan Siangkoan Bi Lian yang mempunyai kepandaian tinggi sudah memperingatkan para tamu untuk menyingkir, menjauhi tempat perkelahian itu karena mereka maklum bahwa uap hitam itu amat berbahaya kalau tersedot atau tersentuh para tamu.

Biarpun Ban-tok Sian-su telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang aneh-aneh dan jahat, namun ilmu pedang itu dapat menghalau semua serangan, bahkan gulungan sinar pedang itu mengurungnya dan membuat Ban-tok Sian-su menjadi sibuk sekali untuk mengelak dan menangkis, bahkan akhirnya tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Beberapa kali dicobanya pula untuk menggunakan ilmu sihir dan beberapa kali Ci Kang terhuyung, terkena pengaruh sihir yang amat kuat walaupun dia sudah mengerahkan sin-kangnya.

Akan tetapi, Han Siong yang melihat ini, segera diam-diam membantu suhu dan juga ayah mertuanya, dengan kekuatan sihirnya, dia memunahkan daya sihir kakek kurus sehingga Ci Kang tidak terpengaruh lagi. Kakek kurus itu tidak tahu bahwa pemuda mempelai pria itu yang menolak sihirnya, yang terasa olehnya hanya betapa kekuatan sihirnya membalik seperti seekor anjing pemburu yang lari kembali kepada majikannya dengan ekor ditekuk ke bawah!

Tentu saja dia menjadi semakin panik dan karena itu gerakannya mengendur dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ci Kang. Dengan gerakan istimewa, setengah membalik dengan tubuh condong, pedangnya menyambar dan tahu-tahu telah menusuk dan menembus dada Ban-tok Sian-su.

"Crappp.......!!"

"Aughhh......!!"

Ketika pedang dicabutnya cepat-cepat, kakek tinggi kurus itu roboh terjengkang, kedua tangannya mendekap dada dan darahpun bercucuran dari celah-celah jari tangannya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar