Ads

Jumat, 24 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 10

Biarpun ia sendiri bertangan kosong, dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tidak menjadi gentar.

Wanita ini memang terlatih, dan selain ia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apalagi sekarang ia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja ia mengamuk mati-matian.

Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawan, ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli gin-kang yang sukar dicari tandingannya, juga ia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. Maka, tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengetoyoknya! Biarpun ia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu terkejut dan gentar.

Tiba-tiba yang biarpun menjadi murid selalu merupakan pimpinan mereka, berseru,
“Pergi …….!!”

Ini merupakan isyarat kepada tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat itu Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah dan terdengar ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap.

Sui Cin terkejut, karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa ia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika ia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka. Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka mencari ke sana-sini. Ia memasuki hutan yang gelap itu, akan tetapi karena tidak tahu kemana arah yang ditempuh empat orang tadi, ia menjadi bingung.

Selagi ia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, dimana sinar bulan sama sekali tidak mampu memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah kemana ia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar. Kecerdikannya belaka yang mencegah ia melanjutkan pencariannya. Di dalam hutan yang gelap itu, amat berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Ia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan.

Biarpun ia mengenal benar tempat ini, karena ketika masih muda ia sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini ia tidak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan. Ia duduk bersila, mengatur pernapasan dan mengumpulkan hawa murni. Ia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi ia harus segar kembali karena ia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat.

Akan tetapi, baru saja ia bersamadhi belum dua jam, dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, keadaan masih gelap, sinar matahari masih belum nampak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang.

"Su-pek-bo (uwa guru)......!"

Sui Cin membuka mata dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Ia tidak mengenal suara itu, maka cepat ia meloncat dan menyusup di balik semak-semak, mendekati pembawa obor. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun!

Ciok Gun terhitung pembantu dan murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru), dan menyebut ia supek-bo. Sekali menggerakkan kaki, ia meloncat dan tiba di depan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba.

"Su-pek-bo......"

"Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan dimana....... "

"Ssttt, supek-bo, jangan terlalu keras bicara. Teecu (murid) tahu dimana mereka menawan su-kong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)." Dia berbisik.

"Bagus ……..!" Sui Cin berseru girang, juga dengan berbisik. "Dimana mereka? Apakah mereka semua selamat?"

"Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka."

Sui Cin tentu saja tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, ia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu, mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, di tengah hutan, Ciok Gun berhenti. Tak jauh dari situ, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan.

Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apalagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi ia tidak banyak bertanya karena ia melihat Ciok Gun memadamkan obornya dan murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjut ke depan bibir agar ia tidak bicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali.

"Supek-bo, teecu tahu dimana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja."

Sui Cin mengangguk. Sedikitpun tentu saja ia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercaya oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Ia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap ia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan.

Sebuah pintu kecil dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia mempergunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itupun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bonya agar mengikutinya.






Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, kalaupun ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andaikata saat itu ia diserang senjata rahasia sekalipun, tentu ia akan mampu menghindarkan diri.

Karena hatinya tegang bercampur gembira akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun itu agak berlebihan. Dalam keadaan tegang gembira itu, ia kehilangan kewaspadaan.

Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan kini membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun dapat menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Namun, saat itu ia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun.

Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat pula sebuah Pintu jeruji besi yang juga terbuka.

"Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita menyeberang kesana. supek-bo dulu, teecu takut ……."

Masih juga Sui Cin belum curiga. Ia mengangguk dan dengan hati-hati ia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Ia bersiap-siap mehghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan iapun melangkah terus. Ciok Gun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas.

Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu disana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung ke dalam kamar itu.

"Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun.

Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang, terdengar dua kali ledakan dan kamar itu penuh asap putih!

"Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu …….!" teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat.

Ia melihat Ciok Gun terhuyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Ia sendiri lalu mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup. Akan tetapi, terpaksa ia menarik diri lagi karena melalui jeruji besi, ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya!

Ia membalik dan hendak menjebol pintu depan. Akan tetapi kembali ia harus mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan, siap menyambutnya. Ia segera membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi.

Akan tetapi, kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal. Betapapun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja ia tidak mungkin dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa ia terengah, asap terhisap dan ia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih inipun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun.

Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja amat kuatnya. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka, dan iapun tidak dibelenggu. Ketika ia bangkit duduk, ia mendengar suara lirih.

“Sui Cin …….!”

Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada disana, di dalam ruangan lain, terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja.

"Mana ayah dan Kui Bu?"

Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tak perlu ia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya.

"Mereka di kamar sebelah. Dalam sebuah kamar, kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat." kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat menawanmu?"







Tidak ada komentar:

Posting Komentar